Candi Prambanan terletak di lingkungan Taman Wisata Prambanan, kurang lebih 17 km ke arah timur dari Yogyakarta, tepatnya di Desa Prambanan Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya hanya sekitar 100 m dari jalan raya Yogya-Solo, sehingga tidak sulit untuk menemukannya. Sebagian dari kawasan wisata yang yang terletak pada ketinggian 154 m di atas permukaan laut ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. sedangkan sebagian lagi masuk dalam wilayah Klaten.
Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun dan atas perintah siapa, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Syiwagrha yang ditemukan di sekitar Prambanan dan saat ini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti berangka tahun 778 Saka (856 M) ini ditulis pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.
Pemugaran Candi Prambanan memakan waktu yang sangat panjang, seakan tak pernah selesai. Penemuan kembali reruntuhan bangunan yang terbesar, yaitu Candi Syiwa, dilaporkan oleh C.A. Lons pada tahun 1733. Upaya penggalian dan pencatatan pertama dilaksanakan di bawah pengawasan Groneman. Penggalian diselesaikan pada tahun 1885, meliputi pembersihan semak belukar dan pengelompokan batu-batu reruntuhan candi.
Pada tahun 1902, upaya tersebut dilanjutkan kembali oleh van Erp. Pengelompokan dan identifikasi batu-batu reruntuhan dilaksanakan secara lebih rinci. Pada tahun 1918, pemugaran terhadap Candi Prambanan dilanjutkan kembali di bawah pengawasan Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst) yang dipimpin oleh P.J. Perquin. Melalui upaya ini, sebagian dari reruntuhan Candi Syiwa dapat direkonstruksi kembali.
Pada tahun 1926, dibentuk sebuah panitia pemugaran di bawah pimpinan De Haan untuk melanjutkan upaya yang telah dilaksanakan Perquin. Di bawah pengawasan panitia ini, selain pembangunan kembali Candi Syiwa semakin disempurnakan hasilnya, dimulai juga persiapan pembangunan Candi Apit.
Pada tahun 1931, De Haan meninggal dan digantikan oleh V.R. van Romondt. Pada tahun 1932, pemugaran kedua Candi Apit berhasil dirampungkan. Pemugaran terpaksa dihentikan pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih pemerintahan di Indonesia. Setelah melalui proses panjang dan tersendat-sendat akibat perang dan peralihan pemerintahan, pada tahun 1953 pemugaran Candi Syiwa dan dua Candi Apit dinyatakan selesai. Sampai saat ini, pemugaran Candi Prambanan masih terus dilaksanakan secara bertahap.
prambanan02_rudy.jpgDenah asli Candi Prambanan berbentuk persegi panjang, terdiri atas halaman luar dan tiga pelataran, yaitu Jaba (pelataran luar), Tengahan (pelataran tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar merupakan areal terbuka yang mengelilingi pelataran luar. Pelataran luar berbentuk bujur dengan luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi oleh pagar batu yang kini sudah tinggal reruntuhan. Pelataran luar saat ini hanya merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula terdapat bangunan atau hiasan lain di pelataran ini.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling, terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2 dan tinggi 14 m. Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya saja.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan tinggi 4 m.
prambanan03_rudy.jpgprambanan04_rudy.jpgDi pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara selatan. Di barisan barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara adalah Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di barisan timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi nama sesuai dengan binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya terletak di hadapannya.
Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang disebut Candi Apit.
CANDI SYIWA
prambanan05_rudy.jpgPada saat ditemukan, Candi Syiwa berada dalam kondisi rusak berat. Pemugarannya memakan waktu yang cukup lama, yaitu dimulai pada tahun 1918 dan baru selesai pada tahun 1953. Dinamakan Candi Syiwa karena di dalam candi ini terdapat Arca Syiwa. Candi Syiwa dikenal juga dengan nama Candi Rara Jonggrang, karena dalam salah satu ruangannya terdapat Arca Durga Mahisasuramardani, yang sering disebut sebagai Arca Rara Jonggrang. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Candi Syiwa, yang terletak di tengah barisan barat, merupakan candi terbesar. Denah dasarnya berbentuk bujur sangkar seluas 34 m2 dengan tinggi 47 m.
Sepanjang dinding kaki candi dihiasi dengan pahatan dua macam hiasan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama adalah gambar seekor singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru. Hiasan ini terdapat di semua sisi kaki Candi Syiwa dan kelima candi besar lainnya.
Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan singa di atas diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang binatang yang sedang berteduh di bawah sebatang pohon kalpataru yang tumbuh dalam jambangan. Berbagai binatang yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak, kijang, kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger dua ekor burung.
prambanan06_rudy.jpgprambanan07_rudy.jpgprambanan08_rudy.jpgPada sisi-sisi lain dinding kaki candi, baik kaki Candi Syiwa maupun candi besar lainnya, panil bergambar binatang ini diganti dengan panil ber gambar kinara-kinari, sepasang burung berkepala manusia, yang juga sedang berteduh di bawah pohon kalpataru.
Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Tangga atas ini dilengkapi dengan pipi tangga yang dindingnya dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan binatang. Pangkal pipi tangga dihiasi pahatan kepala naga yang menganga lebar dengan sosok dewa dalam mulutnya. Di kiri dan kanan tangga terdapat candi kecil yang beratap runcing dengan pahatan Arca Syiwa di keempat sisi tubuhnya.
prambanan09_rudy.jpgDi puncak tangga terdapat gapura paduraksa menuju lorong di permukaan batur. Di atas ambang gapura terdapat pahatan Kalamakara yang indah. Di balik gapura terdapat sepasang candi kecil yang mempunyai relung di tubuhnya. Relung tersebut berisi Arca Mahakala dan Nandiswara, dewa-dewa penjaga pintu.
prambanan10_rudy.jpgDi permukaan batur terdapat selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi tubuh candi. Selasar ini dilengkapi dengan pagar atau langkan, sehingga bentuknya mirip sebuah lorong tanpa atap. Lorong berlangkan ini berbelok-belok menyudut, membagi dinding candi menjadi 6 bagian. Sepanjang dinding tubuh candi dihiasi deretan pahatan Arca Lokapala. Lokapala adalah dewa-dewa penjaga arah mata angin, seperti Bayu, Indra, Baruna,
Agni dan Yama.
prambanan11_rudy.jpgprambanan12_rudy.jpgSepanjang sisi dalam dinding langkan terpahat relief Ramayana. Cerita Ramayana ini dipahatkan searah jarum jam, dimulai dari adegan Wisnu yang diminta turun ke bumi oleh para raja guna mengatasi kekacuan yang diperbuat oleh Rahwana dan diakhiri dengan adegan selesainya pembangunan jembatan melintas samudera menuju Negara Alengka. Sambungan cerita Ramayana terdapat dinding dalam langkan Candi
Brahma.
prambanan13_rudy.jpgDi atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat 2 motif pahatan yang ditampilkan berselang-seling, yaitu gambar 3 orang yang berdiri sambil berpegangan tangan dan 3 orang yang sedang memainkan berbagai jenis alat musik.
prambanan14_rudy.jpgPintu masuk ke ruangan-ruangan dalam tubuh candi terdapat di teras yang lebih tinggi lagi. Untuk mencapai teras atas, terdapat tangga di depan masing-masing pintu ruangan. Dalam tubuh candi terdapat empat ruangan yang mengelilingi ruangan utama yang terletak di tengah tubuh candi. Jalan masuk ke ruangan utama adalah melalui ruang yang menghadap ke timur. Ruangan ini ruangan kosong tanpa arca atau hiasan apapun. Pintu masuk ke ruang utama letaknya segaris dengan pintu masuk ke ruang timur. Ruang utama ini disebut Ruang Syiwa karena di tengah ruangan terdapat Arca Syiwa Mahadewa, yaitu Syiwa dalam posisi berdiri di atas teratai dengan satu tangan terangkat di depan dada dan tangan lain mendatar di depan perut. Arca Syiwa tersebut terletak di atas umpak (landasan) setinggi sekitar 60 cm, berbentuk yoni dengan saluran pembuangan air di sepanjang tepi permukaannya. Konon Arca Syiwa ini menggambarkan Raja Balitung dari Mataram Hindu (898 - 910 M) yang dipuja sebagai Syiwa.
prambanan15_rudy.jpgTidak terdapat pintu penghubung antara Ruang Syiwa dengan ketiga ruang di sisi lain. Ruang utara, barat, dan selatan memiliki pintu sendiri-sendiri yang terletak tepat di depan tangga naik ke teras atas. Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, yaitu Durga sebagai dewi kematian, yang menggambarkan permaisuri Raja Balitung. Durga digambarkan sebagai dewi bertangan delapan dalam posisi berdiri di atas Lembu Nandi menghadap ke Candi Wisnu. Satu tangan kanannya dalam posisi bertelekan pada sebuah gada, sedangkan ketiga tangan lainnya masing-masing memegang anak panah, pedang dan cakram. Satu tangan kirinya memegang kepala Asura, raksasa kerdil yang berdiri di atas kepala mahisa (lembu), sedangkan ketiga tangan lainnya memegang busur, perisai dan bunga. Arca Durga ini oleh masyarakat sekitar disebut juga Arca Rara Jonggrang, karena arca ini diyakini sebagai penjelmaan Rara Jonggrang. Rara Jonggrang adalah putri raja dalam legenda setempat, yang dikutuk menjadi arca oleh Bandung
Bandawasa.
prambanan16_rudy.jpgDalam ruang barat terdapat Arca Ganesha dalam posisi bersila di atas padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak kaki saling bertemu. Kedua telapak tangan menumpang di lutut dalam posisi tengadah, sementara belalainya tertumpang dilengan kiri. Arca Ganesha ini menggambarkan putra mahkota Raja Balitung. selempang di bahu menunjukkan bahwa ia juga seorang panglima perang.
Dalam ruang selatan terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru. Arca ini meliliki postur tubuh agak gemuk dan berjenggot. Syiwa Mahaguru digambarkan dalam posisi berdiri menghadap ke Candi Brahma di selatan dengan tangan kanan memegang tasbih sdan tangan kiri memegang sebuah kendi. Di belakangnya, di sebelah kiri terdapat pengusir lalat dan di sebelah kanan terdapat trisula. Konon Arca Syiwa Mahaguru ini menggambarkan seorang pendeta penasihat kerajaan.
prambanan18_rudy.jpgCandi Wisnu terdapat di sebelah utara Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang membentuk selasar berlangkan. Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.
prambanan19a_rudy.jpgSepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat relief Krisnayana. Krisnayana adalah kisah kehidupan Krisna sejak ia dilahirkan sampai ia berhasil menduduki tahta Kerajaaan Dwaraka.
prambanan20_rudy.jpgDi atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.
prambanan21_rudy.jpgCandi Wisnu hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Wisnu dalam posisi berdiri di atas 'umpak' berbentuk yoni. Wisnu digambarkan sebagai dewa bertangan 4. Tangan kanan belakang memegang Cakra (senjata Wisnu) sedangkan tangan kiri memegang tiram. Tangan kanan depan memegang gada dan tangan kiri memegang setangkai bunga teratai.
Candi Brahma letaknya di sebelah selatan Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang membentuk selasar berlangkan. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.
Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat kelanjutan cerita Ramayana di dinding dalam langkan Candi Syiwa. Penggalan cerita Ramayana di Candi Brahma ini mengisahkan peperangan Rama dibantu adiknya, Laksmana, dan bala tentara kera melawan Rahwana sampai pada Sinta pergi mengembara ke hutan setelah diusir oleh Rama yang meragukan kesuciannya. Sinta melahirkan putranya di hutan di bawah lindungan seorang pertapa.
prambanan22_rudy.jpgprambanan23_rudy.jpgDi atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, menghadap ke luar, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan Brahma sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.
prambanan24_rudy.jpgCandi Brahma juga hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Brahma dalam posisi berdiri di atas umpak berbentuk yoni. Brahma digambarkan sebagai dewa yang memiliki empat wajah, masing-masing menghadap ke arah yang berbeda, dan dua pasang tangan. Pada dahi di wajah yang menghadap ke depan terdapat mata ketiga yang disebut 'urna'. Patung Brahma itu sebetulnya sangat indah, tetapi sekarang sudah rusak. Dinding ruang Brahma polos tanpa hiasan. Pada dinding di setiap sisi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.
CANDI WAHANA
Candi Nandi. Candi ini mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, yaitu ke Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci tunggangan Dewa Syiwa. Jika dibandingkan dengan Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di sebelah kanan dan kirinya, Candi Nandi mempunyai bentuk yang sama, hanya ukurannya sedikit lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa, pada dinding kaki terdapat dua motif pahatan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama merupakan gambar singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru dan yang kedua merupakan gambar sepasang binatang yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di atas pohon bertengger dua ekor burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat juga pada candi wahana lainnya.
prambanan25_rudy.jpgCandi Nandi memiliki satu ruangan dalam tubuhnya. Tangga dan pintu masuk ke ruangan terletak di sisi barat. Dalam ruangan terdapat Arca Lembu Nandi, kendaraan Syiwa, dalam posisi berbaring menghadap ke barat. Dalam ruangan tersebut terdapat juga dua arca, yaitu Arca Surya (dewa matahari) yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda dan Arca Candra (dewa bulan) yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh sepuluh ekor kuda. Dinding ruangan tidak dihias dan terdapat sebuah batu yang menonjol pada tiap sisi dinding yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak. Dinding lorong di sekeliling tubuhcandi juga polos tanpa hiasan pahatan.
Candi Garuda. Candi ini letaknya di utara Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Wisnu. Garuda merupakan burung tunggangan Wisnu. Bentuk dan hiasan pada kaki dan tangga Candi Garuda serupa dengan yang terdapat di Candi Nandi. Walaupun dinamakan candi Garuda, namun tidak terdapat arca garuda di ruangan dalam tubuh candi. Di lantai ruangan terdapat Arca Syiwa dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di Candi Syiwa. Arca ini diketemukan tertanam di bawah candi, dan sesungguhnya tempatnya bukan di dalam ruangan tersebut.
Candi Angsa. Candi ini letaknya di selatan Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Brahma. Angsa merupakan burung tunggangan Brahma. Ukuran, bentuk dan hiasan pada kaki dan tangga Candi Angsa serupa dengan yang terdapat di Candi Garuda. Ruangan di dalam tubuh candi dalam keadaan kosong. Dinding ruangan juga tidak dihias, hanya terdapat batu yang menonjol pada dinding di setiap sisi ruangan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.
CANDI APIT
prambanan26_rudy.jpgCandi Apit merupakan sepasang candi yang saling berhadapan. Letaknya, masing-masing, di ujung selatan dan ujung utara lorong di antara kedua barisan candi besar. Kedua candi ini berdenah bujur sangkar seluas 6 m2 dengan ketinggian 16 m. tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Tidak terdapat selasar di permukaan kaki candi. Masing-masing mempunyai satu tangga menuju satu-satunya ruangan dalam tubuhnya. Hanya ada hal yang istimewa tentang candi ini, ialah ketika candi ini sudah selesai di bangun kembali, kelihatan sangat indah.
prambanan27_rudy.jpgCANDI PENJAGA
Selain keenam candi besar dan dua candi apit yang telah diuraikan di atas, di pelataran atas masih terdapat delapan candi berukuran sangat kecil, yaitu dengan denah dasar sekitar 1,25 m2. Empat di antaranya terletak di masing-masing sudut latar, sedangkan empat lainnya ditempatkan di dekat gerbang masuk ke pelataran atas.
prambanan28_rudy.jpgWajah Prambanan sekarang telah terlihat cantik. Di depan komplek candi, dibangun panggung pentas sendratari Ramayana dan Taman Wisata Prambanan yang dapat mempercantik wajah komplek Prambanan.
Legenda Rara Jonggrang
Dahulu kala di P. Jawa bagian tengah terdapat dua kerajaan yang saling bertetangga, yaitu Kerajaan Pengging, yang diperintah oleh Raja Pengging, dan Kerajaan Prambanan, yang diperintah oleh Prabu Baka. Prabu Baka berwujud raksasa yang bertubuh besar dan mempunyai kesaktian luar biasa. Prabu Baka terkenal kejam karena, untuk mempertahankan kesaktiannya, ia secara rutin melaksanakan upacara persembahan dengan mengurbankan manusia. Walaupun wujudnya menyeramkan dan hatinya kejam, Prabu Baka mempunyai seorang putri yang sangat cantik, bernama Rara Jonggrang.
Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin, bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi Raden Bandung Bandawasa.
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.
Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000 candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.
Bandawasa kemudian mengerahkan teman-temannya, para jin, untuk membantunya membangun candi yang diinginkan majikannya. Lewat tengah, Rara Jonggrang mengendap-endap mendekati lapangan untuk melihat hasil kerja Raden bandung. Betapa kagetnya sang putri melihat bahwa pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. Secepatnya ia berlari ke desa terdekat untuk membangunkan para gadis di desa itu. Beramai-ramai mereka memukul-mukulkan alu (penumbuk padi) ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Mendengar suara orang menumbuk padi, ayam jantan di desa itu terbangun dan mulai berkokok bersahutan.
Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang. Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.
Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau memperistri mereka.
Kisah Candi Prambanan
Monday, July 1, 2019
Sejarah Candi Prambanan (The History of Prambanan Temple)
Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta dan kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah[1] kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[4]
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada masa kerajaan Medang Mataram.
Etimologi
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna "Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.
Nama lain dari Prambanan dapat berarti 5 (lima) gunung yang dalam bahasa Khmer/Kamboja 5 (lima) adalah Pram dan banam adalah gunung (ប្រាំភ្នំ). Hal ini menggambarkan 5 puncak gunung dari Himalaya di India. Mengingat pada saat yang sama dalam kronik Khmer bahwa Bangsa Jawa pernah menjajah Khmer salama 200 tahun dan Jayawarman ke 2 yang pernah di Jawa merupakan pahlawan yang membebaskan Khmer dari dominasi Jawa.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sansekerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.
J. Gronemen (1887) berpendapat bahwa nama Prambanan berasal dari kata ramban:
“ mengumpulkan dedaunan (untuk keperluan rumah tangga atau obat-obatan), [pra-ramban-an] masih menjadi tempat, lazimnya di hutan, di mana dedaunan itu diramu. Penjelasan seperti ini mengenai nama puning-puning reruntuhan itu, yang niscaya pada satu kesempatan ditemukan di hutan seperti itu, juga termuat dalam kamus yang disusun Roorda; [sebuah penjelasan] yang begitu sederhana dan alamiah sehingga kita tidak perlu mencari penjelasan yang lain." (Groneman 1887:1427 dalam Jordaan, 1996)[5] ”
Sejarah
Pembangunan
Candi Prambanan di antara kabut pagi.
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[6] Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta dia.[7]
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Ditelantarkan
Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755, reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).
Penemuan kembali
Reruntuhan candi Prambanan segera setelah ditemukan.
Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda. Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut, reruntuhan candi ini tetap telantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktik penjarahan ukiran dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi menggunakan batu candi untuk bahan bangunan dan fondasi rumah.
Pemugaran
Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993[8].
Upaya restorasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno. ada bagian candi yang direstorasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direstorasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah direstorasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah merusak sejumlah bangunan dan patung.
Peristiwa kontemporer
Pagelaran Sendratari Ramayana di Prambanan.
Pementasan pertama Sendratari Ramayana di panggung terbuka Roro Jonggrang, Prambanan (1961).
Pemandangan Prambanan dikala malam yang disoroti lampu dari arah panggung terbuka Trimurti.
Dokumentasi pemeran utama Sendratari Ramayana, Rama (Tunjung Sulaksono) dan Sinta (Sumaryaning) bersama Charlie Chaplin dan GPH Suryohamijoyo di PanggungTerbuka Roro Jonggrang (1961).
Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi, dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya. Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia Perusahaan milik negara, Persero PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya. Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.
Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.
Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi.[9][10]
Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter) menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan, khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran, dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang diakibatkan gempa ini.[11][12] Beberapa minggu kemudian, pada tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi selesai.[13] Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan atas alasan keamanan.
Kompleks candi
Model arsitektur rekonstruksi kompleks candi Prambanan, aslinya terdapat 240 candi berdiri di kompleks ini.
Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara dan selatan
4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau zona inti
4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.
Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan.[14] Tetapi kini hanya tersisa 18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan. Kompleks candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil.
Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan terdiri atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut - Barat Daya. Kecuali gerbang selatan yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah banyak yang hilang. Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan adalah lahan taman suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak tersisa.
Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor Wat. Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa utama Trimurti: Siwa sang Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta. Di kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama sekaligus yang terbesar dan tertinggi, menjulang setinggi 47 meter.
Candi Siwa
Candi Siwa, candi utama di kompleks candi Prambanan yang dipersembahkan untuk dewa Siwa.
Arca Durga Mahisasuramardini di ruang utara candi Siwa.
Halaman dalam adalah zona paling suci dari ketiga zona kompleks candi. Pelataran ini ditinggikan permukaannya dan berdenah bujur sangkar dikurung pagar batu dengan empat gerbang di empat penjuru mata angin. Dalam halaman berpermukaan pasir ini terdapat delapan candi utama; yaitu tiga candi utama yang disebut candi Trimurti ("tiga wujud"), dipersembahkan untuk tiga dewa Hindu tertinggi: Dewa Brahma Sang Pencipta, Wishnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pemusnah.
Candi Siwa sebagai candi utama adalah bangunan terbesar sekaligus tetinggi di kompleks candi Rara Jonggrang, berukuran tinggi 47 meter dan lebar 34 meter. Puncak mastaka atau kemuncak candi ini dimahkotai modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Bentuk wajra ini merupakan versi Hindu sandingan dari stupa yang ditemukan pada kemuncak candi Buddha. Candi Siwa dikelilingi lorong galeri yang dihiasi relief yang menceritakan kisah Ramayana; terukir di dinding dalam pada pagar langkan. Di atas pagar langkan ini dipagari jajaran kemuncak yang juga berbentuk wajra. Untuk mengikuti kisah sesuai urutannya, pengunjung harus masuk dari sisi timur, lalu melakukan pradakshina yakni berputar mengelilingi candi sesuai arah jarum jam. Kisah Ramayana ini dilanjutkan ke Candi Brahma.
Candi Siwa di tengah-tengah, memuat lima ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin dan satu garbagriha, yaitu ruangan utama dan terbesar yang terletak di tengah candi. Ruangan timur terhubung dengan ruangan utama tempat bersemayam sebuah arca Siwa Mahadewa (Perwujudan Siwa sebagai Dewa Tertinggi) setinggi tiga meter. Arca ini memiliki Lakçana (atribut atau simbol) Siwa, yaitu chandrakapala (tengkorak di atas bulan sabit), jatamakuta (mahkota keagungan), dan trinetra (mata ketiga) di dahinya. Arca ini memiliki empat lengan yang memegang atribut Siwa, seperti aksamala (tasbih), camara (rambut ekor kuda pengusir lalat), dan trisula. Arca ini mengenakan upawita (tali kasta) berbentuk ular naga (kobra). Siwa digambarkan mengenakan cawat dari kulit harimau, digambarkan dengan ukiran kepala, cakar, dan ekor harimau di pahanya. Sebagian sejarawan beranggapa bahwa arca Siwa ini merupakan perwujudan raja Balitung sebagai dewa Siwa, sebagai arca pedharmaan anumerta dia. Sehingga ketika raja ini wafat, arwahnya dianggap bersatu kembali dengan dewa penitisnya yaitu Siwa.[15] Arca Siwa Mahadewa ini berdiri di atas lapik bunga padma di atas landasan persegi berbentuk yoni yang pada sisi utaranya terukir ular Nāga (kobra).
Tiga ruang yang lebih kecil lainnya menyimpan arca-arca yang ukuran lebih kecil yang berkaitan dengan Siwa. Di dalam ruang selatan terdapat Resi Agastya, Ganesha putra Siwa di ruang barat, dan di ruang utara terdapat arca sakti atau istri Siwa, Durga Mahisasuramardini, menggambarkan Durga sebagai pembasmi Mahisasura, raksasa Lembu yang menyerang swargaloka. Arca Durga ini juga disebut sebagai Rara Jonggrang (dara langsing) oleh penduduk setempat. Arca ini dikaitkan dengan tokoh putri legendaris Rara Jonggrang.
Di dalam buku terkenal Thomas Raffles, The History of Java (1817) terdapat gambar Candi Induk Prambanan dengan keterangan "candi induk di Jongrangan". Dalam nama jongrangan ini dikenal nama lokal lainnya yang populer untuk kompleks percandian ini, yaitu Loro Jonggrang, yang berarti "Gadis Semampai". Loro Jonggarang adalah tokoh utama dalam sebuah cerita rakyat Jawa.
Candi Brahma dan Candi Wishnu
Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang terletak di sisi utara dan satunya dipersembahkan kepada Brahma, yang terletak di sisi selatan. Kedua candi ini menghadap ke timur dan hanya terdapat satu ruang, yang dipersembahkan untuk dewa-dewa ini. Candi Brahma menyimpan arca Brahma dan Candi Wishnu menyimpan arca Wishnu yang berukuran tinggi hampir 3 meter. Ukuran candi Brahma dan Wishnu adalah sama, yakni lebar 20 meter dan tinggi 33 meter.
Candi Wahana
Candi Garuda, salah satu candi wahana
Tepat di depan candi Trimurti terdapat tiga candi yang lebih kecil daripada candi Brahma dan Wishnu yang dipersembahkan kepada kendaraan atau wahana dewa-dewa ini; sang lembu Nandi wahana Siwa, sang Angsa wahana Brahma, dan sang Garuda wahana Wisnu. Candi-candi wahana ini terletak tepat di depan dewa penunggangnya. Di depan candi Siwa terdapat candi Nandi, di dalamnya terdapat arca lembu Nandi. Pada dinding di belakang arca Nandi ini di kiri dan kanannya mengapit arca Chandra dewa bulan dan Surya dewa matahari. Chandra digambarkan berdiri di atas kereta yang ditarik 10 kuda, sedangkan Surya berdiri di atas kereta yang ditarik 7 kuda.[16] Tepat di depan candi Brahma terdapat candi Angsa. Candi ini kosong dan tidak ada arca Angsa di dalamnya. Mungkin dulu pernah bersemayam arca Angsa sebagai kendaraan Brahma di dalamnya. Di depan candi Wishnu terdapat candi yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi sama seperti candi Angsa, di dalam candi ini tidak ditemukan arca Garuda. Mungkin dulu arca Garuda pernah ada di dalam candi ini. Hingga kini Garuda menjadi lambang penting di Indonesia, yaitu sebagai lambang negara Garuda Pancasila.
Candi Apit, Candi Kelir, dan Candi Patok
Di antara baris keenam candi-candi utama ini terdapat Candi Apit. Ukuran Candi Apit hampir sama dengan ukuran candi perwara, yaitu tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter. Disamping 8 candi utama ini terdapat candi kecil berupa kuil kecil yang mungkin fungsinya menyerupai pelinggihan dalam Pura Hindu Bali tempat meletakan canang atau sesaji, sekaligus sebagai aling-aling di depan pintu masuk. Candi-candi kecil ini yaitu; 4 Candi Kelir pada empat penjuru mata angin di muka pintu masuk, dan 4 Candi Patok di setiap sudutnya. Candi Kelir dan Candi Patok berbentuk miniatur candi tanpa tangga dengan tinggi sekitar 2 meter.
Candi Perwara
Dua dinding berdenah bujur sangkar yang mengurung dua halaman dalam, tersusun dengan orientasi sesuai empat penjuru mata angin. Dinding kedua berukuran panjang 225 meter di tiap sisinya. Di antara dua dinding ini adalah halaman kedua atau zona kedua. Zona kedua terdiri atas 224 Candi Perwara yang disusun dalam empat baris konsentris. Candi-candi ini dibangun di atas empat undakan teras-teras yang makin ke tengah sedikit makin tinggi. Empat baris candi-candi ini berukuran lebih kecil daripada candi utama. Candi-candi ini disebut "Candi Perwara" yaitu Candi Pengawal atau Candi Pelengkap. Candi-Candi Perwara disusun dalam empat baris konsentris baris terdalam terdiri atas 44 candi, baris kedua 52 candi, baris ketiga 60 candi, dan baris keempat sekaligus baris terluar terdiri atas 68 candi.
Masing-masing Candi Perwara ini berukuran tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter, dan jumlah keseluruhan Candi Perwara di halaman ini adalah 224 candi. Kesemua Candi Perwara ini memiliki satu tangga dan pintu masuk sesuai arah hadap utamanya, kecuali 16 candi di sudut yang memiliki dua tangga dan pintu masuk menghadap ke dua arah luar.[17] Jika kebanyakan atap candi di halaman dalam zona inti berbentuk wajra, maka atap candi perwara berbentuk ratna yang melambangkan permata.
Aslinya ada banyak candi yang ada di halaman ini, akan tetapi hanya sedikit yang telah dipugar. Bentuk candi perwara ini dirancang seragam. Sejarawan menduga bahwa candi-candi ini dibiayai dan dibangun oleh penguasa daerah sebagai tanda bakti dan persembahan bagi raja. Sementara ada pendapat yang mengaitkan empat baris Candi Perwara melambangkan empat kasta, dan hanya orang-orang anggota kasta itu yang boleh memasuki dan beribadah di dalamnya; baris paling dalam hanya oleh dimasuki kasta brahmana, berikutnya hingga baris terluar adalah barisan candi untuk ksatriya, waisya, dan sudra. Sementara pihak lain menganggap tidak ada kaitannya antara Candi Perwara dan empat kasta. Barisan candi perwara kemungkinan dipakai untuk beribadah, atau tempat bertapa (meditasi) bagi pendeta dan umatnya.
Arsitektur
Penampang candi Siwa
Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang kurang suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama. Baik lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona:[18]
Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana; manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi melambangkan ranah bhurloka.
Bwahloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi, pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran. Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bwahloka.
Swahloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci tempat para dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi melambangkan ranah swahloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan merupakan modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka candi.
Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75 meter dan peti batu pripih ini ditemukan di atas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang belulang hewan korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran emas dengan aksara bertuliskan Baruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam peti batu ini terdapat lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping uang kuno, beberapa butir permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang kerang, dan 12 lembaran emas (5 diantaranya berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma, altar, dan telur).[19]
Relief
Relief di Prambanan menampilkan Shinta tengah diculik Rahwana yang menunggangi raksasa bersayap, sementara burung Jatayu di sebelah kiri atas mencoba menolong Shinta.
Panil khas Prambanan, singa di dalam relung diapit dua pohon kalpataru yang masing-masing diapit oleh sapasang kinnara-kinnari atau sepasang margasatwa.
Ramayana dan Krishnayana
Candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana. Relif berkisah ini diukirkan pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu ritual mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi timur candi Siwa dan dilanjutkan ke candi Brahma temple. Pada pagar langkan candi Wisnu terdapat relief naratif Krishnayana yang menceritakan kehidupan Krishna sebagai salah satu awatara Wishnu.
Relief Ramayana menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama, diculik oleh Rahwana. Panglima bangsa wanara (kera), Hanuman, datang ke Alengka untuk membantu Rama mencari Shinta. Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari Ramayana, yaitu pagelaran wayang orang Jawa yang dipentaskan secara rutin di panggung terbuka Trimurti setiap malam bulan purnama. Latar belakang panggung Trimurti adalah pemandangan megah tiga candi utama yang disinari cahaya lampu.
Lokapala, Brahmana, dan Dewata
Di seberang panel naratif relief, di atas tembok tubuh candi di sepanjang galeri dihiasi arca-arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di candi Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di candi Brahma. Di candi Wishnu terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara atau bidadari kahyangan.
Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru
Di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi oleh barisan relung (ceruk) yang menyimpan arca singa diapit oleh dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan manusia. Di kaki pohon Kalpataru ini diapit oleh pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang, domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola khas yang hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil Prambanan".
Museum Prambanan
Di dalam kompleks taman purbakala candi Prambanan terdapat sebuah museum yang menyimpan berbagai temuan benda bersejarah purbakala. Museum ini terletak di sisi utara Candi Prambanan, antara candi Prambanan dan candi Lumbung. Museum ini dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa, berupa rumah joglo. Koleksi yang tersimpan di museum ini adalah berbagai batu-batu candi dan berbagai arca yang ditemukan di sekitar lokasi candi Prambanan; misalnya arca lembu Nandi, resi Agastya, Siwa, Wishnu, Garuda, dan arca Durga Mahisasuramardini, termasuk pula batu Lingga Siwa, sebagai lambang kesuburan.
Replika harta karun emas temuan Wonoboyo yang terkenal itu, berupa mangkuk berukir Ramayana, gayung, tas, uang, dan perhiasan emas, juga dipamekan di museum ini. Temuan Wonoboyo yang asli kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Replika model arsitektur beberapa candi seperti Prambanan, Borobudur, dan Plaosan juga dipamerkan di museum ini. Museum ini dapat dimasuki secara gratis oleh pengunjung taman purbakala Prambanan karena tiket masuk taman wisata sudah termasuk museum ini. Pertunjukan audio visual mengenai candi Prambanan juga ditampilkan disini.
Candi lain di sekitar Prambanan
Candi dan situs purbakala di sekitar Dataran Kewu
Candi Sewu, candi Buddha yang masuk dalam lingkungan Taman Purbalaka Prambanan, dikaitkan dengan legenda Rara Jonggrang
Dataran Kewu atau dataran Prambanan adalah dataran subur yang membentang antara lereng selatan kaki gunung Merapi di utara dan jajaran pegunungan kapur Sewu di selatan, dekat perbatasan Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Selain candi Prambanan, lembah dan dataran di sekitar Prambanan kaya akan peninggalan arkeologi candi-candi Buddha paling awal dalam sejarah Indonesia, serta candi-candi Hindu. Candi Prambanan dikelilingi candi-candi Buddha. Masih di dalam kompleks taman wisata purbakala, tak jauh di sebelah utara candi Prambanan terdapat reruntuhan candi Lumbung dan candi Bubrah. Lebih ke utara lagi terdapat candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Lebih jauh ke timur terdapat candi Plaosan. Di arah barat Prambanan terdapat candi Kalasan dan candi Sari. Sementara di arah selatan terdapat candi Sojiwan, Situs Ratu Baka yang terletak di atas perbukitan, serta candi Banyunibo, candi Barong, dan candi Ijo.
Dengan ditemukannya begitu banyak peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang hanya berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, menunjukkan bahwa kawasan di sekitar Prambanan pada zaman dahulu kala adalah kawasan penting. Kawasan yang memiliki nilai penting baik dalam hal keagamaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Diduga pusat kerajaan Medang Mataram terletak disuatu tempat di dataran ini. Kekayaan situs arkeologi, serta kecanggihan dan keindahan candi-candinya menjadikan Dataran Prambanan tak kalah dengan kawasan bersejarah terkenal lainnya di Asia Tenggara, seperti situs arkeologi kota purbakala Angkor, Bagan, dan Ayutthaya.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta dan kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah[1] kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[4]
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada masa kerajaan Medang Mataram.
Etimologi
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna "Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.
Nama lain dari Prambanan dapat berarti 5 (lima) gunung yang dalam bahasa Khmer/Kamboja 5 (lima) adalah Pram dan banam adalah gunung (ប្រាំភ្នំ). Hal ini menggambarkan 5 puncak gunung dari Himalaya di India. Mengingat pada saat yang sama dalam kronik Khmer bahwa Bangsa Jawa pernah menjajah Khmer salama 200 tahun dan Jayawarman ke 2 yang pernah di Jawa merupakan pahlawan yang membebaskan Khmer dari dominasi Jawa.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sansekerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.
J. Gronemen (1887) berpendapat bahwa nama Prambanan berasal dari kata ramban:
“ mengumpulkan dedaunan (untuk keperluan rumah tangga atau obat-obatan), [pra-ramban-an] masih menjadi tempat, lazimnya di hutan, di mana dedaunan itu diramu. Penjelasan seperti ini mengenai nama puning-puning reruntuhan itu, yang niscaya pada satu kesempatan ditemukan di hutan seperti itu, juga termuat dalam kamus yang disusun Roorda; [sebuah penjelasan] yang begitu sederhana dan alamiah sehingga kita tidak perlu mencari penjelasan yang lain." (Groneman 1887:1427 dalam Jordaan, 1996)[5] ”
Sejarah
Pembangunan
Candi Prambanan di antara kabut pagi.
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[6] Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta dia.[7]
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Ditelantarkan
Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755, reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).
Penemuan kembali
Reruntuhan candi Prambanan segera setelah ditemukan.
Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda. Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut, reruntuhan candi ini tetap telantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktik penjarahan ukiran dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi menggunakan batu candi untuk bahan bangunan dan fondasi rumah.
Pemugaran
Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993[8].
Upaya restorasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno. ada bagian candi yang direstorasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direstorasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah direstorasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah merusak sejumlah bangunan dan patung.
Peristiwa kontemporer
Pagelaran Sendratari Ramayana di Prambanan.
Pementasan pertama Sendratari Ramayana di panggung terbuka Roro Jonggrang, Prambanan (1961).
Pemandangan Prambanan dikala malam yang disoroti lampu dari arah panggung terbuka Trimurti.
Dokumentasi pemeran utama Sendratari Ramayana, Rama (Tunjung Sulaksono) dan Sinta (Sumaryaning) bersama Charlie Chaplin dan GPH Suryohamijoyo di PanggungTerbuka Roro Jonggrang (1961).
Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi, dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya. Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia Perusahaan milik negara, Persero PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya. Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.
Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.
Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi.[9][10]
Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter) menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan, khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran, dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang diakibatkan gempa ini.[11][12] Beberapa minggu kemudian, pada tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi selesai.[13] Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan atas alasan keamanan.
Kompleks candi
Model arsitektur rekonstruksi kompleks candi Prambanan, aslinya terdapat 240 candi berdiri di kompleks ini.
Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara dan selatan
4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau zona inti
4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.
Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan.[14] Tetapi kini hanya tersisa 18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan. Kompleks candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil.
Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan terdiri atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut - Barat Daya. Kecuali gerbang selatan yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah banyak yang hilang. Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan adalah lahan taman suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak tersisa.
Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor Wat. Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa utama Trimurti: Siwa sang Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta. Di kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama sekaligus yang terbesar dan tertinggi, menjulang setinggi 47 meter.
Candi Siwa
Candi Siwa, candi utama di kompleks candi Prambanan yang dipersembahkan untuk dewa Siwa.
Arca Durga Mahisasuramardini di ruang utara candi Siwa.
Halaman dalam adalah zona paling suci dari ketiga zona kompleks candi. Pelataran ini ditinggikan permukaannya dan berdenah bujur sangkar dikurung pagar batu dengan empat gerbang di empat penjuru mata angin. Dalam halaman berpermukaan pasir ini terdapat delapan candi utama; yaitu tiga candi utama yang disebut candi Trimurti ("tiga wujud"), dipersembahkan untuk tiga dewa Hindu tertinggi: Dewa Brahma Sang Pencipta, Wishnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pemusnah.
Candi Siwa sebagai candi utama adalah bangunan terbesar sekaligus tetinggi di kompleks candi Rara Jonggrang, berukuran tinggi 47 meter dan lebar 34 meter. Puncak mastaka atau kemuncak candi ini dimahkotai modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Bentuk wajra ini merupakan versi Hindu sandingan dari stupa yang ditemukan pada kemuncak candi Buddha. Candi Siwa dikelilingi lorong galeri yang dihiasi relief yang menceritakan kisah Ramayana; terukir di dinding dalam pada pagar langkan. Di atas pagar langkan ini dipagari jajaran kemuncak yang juga berbentuk wajra. Untuk mengikuti kisah sesuai urutannya, pengunjung harus masuk dari sisi timur, lalu melakukan pradakshina yakni berputar mengelilingi candi sesuai arah jarum jam. Kisah Ramayana ini dilanjutkan ke Candi Brahma.
Candi Siwa di tengah-tengah, memuat lima ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin dan satu garbagriha, yaitu ruangan utama dan terbesar yang terletak di tengah candi. Ruangan timur terhubung dengan ruangan utama tempat bersemayam sebuah arca Siwa Mahadewa (Perwujudan Siwa sebagai Dewa Tertinggi) setinggi tiga meter. Arca ini memiliki Lakçana (atribut atau simbol) Siwa, yaitu chandrakapala (tengkorak di atas bulan sabit), jatamakuta (mahkota keagungan), dan trinetra (mata ketiga) di dahinya. Arca ini memiliki empat lengan yang memegang atribut Siwa, seperti aksamala (tasbih), camara (rambut ekor kuda pengusir lalat), dan trisula. Arca ini mengenakan upawita (tali kasta) berbentuk ular naga (kobra). Siwa digambarkan mengenakan cawat dari kulit harimau, digambarkan dengan ukiran kepala, cakar, dan ekor harimau di pahanya. Sebagian sejarawan beranggapa bahwa arca Siwa ini merupakan perwujudan raja Balitung sebagai dewa Siwa, sebagai arca pedharmaan anumerta dia. Sehingga ketika raja ini wafat, arwahnya dianggap bersatu kembali dengan dewa penitisnya yaitu Siwa.[15] Arca Siwa Mahadewa ini berdiri di atas lapik bunga padma di atas landasan persegi berbentuk yoni yang pada sisi utaranya terukir ular Nāga (kobra).
Tiga ruang yang lebih kecil lainnya menyimpan arca-arca yang ukuran lebih kecil yang berkaitan dengan Siwa. Di dalam ruang selatan terdapat Resi Agastya, Ganesha putra Siwa di ruang barat, dan di ruang utara terdapat arca sakti atau istri Siwa, Durga Mahisasuramardini, menggambarkan Durga sebagai pembasmi Mahisasura, raksasa Lembu yang menyerang swargaloka. Arca Durga ini juga disebut sebagai Rara Jonggrang (dara langsing) oleh penduduk setempat. Arca ini dikaitkan dengan tokoh putri legendaris Rara Jonggrang.
Di dalam buku terkenal Thomas Raffles, The History of Java (1817) terdapat gambar Candi Induk Prambanan dengan keterangan "candi induk di Jongrangan". Dalam nama jongrangan ini dikenal nama lokal lainnya yang populer untuk kompleks percandian ini, yaitu Loro Jonggrang, yang berarti "Gadis Semampai". Loro Jonggarang adalah tokoh utama dalam sebuah cerita rakyat Jawa.
Candi Brahma dan Candi Wishnu
Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang terletak di sisi utara dan satunya dipersembahkan kepada Brahma, yang terletak di sisi selatan. Kedua candi ini menghadap ke timur dan hanya terdapat satu ruang, yang dipersembahkan untuk dewa-dewa ini. Candi Brahma menyimpan arca Brahma dan Candi Wishnu menyimpan arca Wishnu yang berukuran tinggi hampir 3 meter. Ukuran candi Brahma dan Wishnu adalah sama, yakni lebar 20 meter dan tinggi 33 meter.
Candi Wahana
Candi Garuda, salah satu candi wahana
Tepat di depan candi Trimurti terdapat tiga candi yang lebih kecil daripada candi Brahma dan Wishnu yang dipersembahkan kepada kendaraan atau wahana dewa-dewa ini; sang lembu Nandi wahana Siwa, sang Angsa wahana Brahma, dan sang Garuda wahana Wisnu. Candi-candi wahana ini terletak tepat di depan dewa penunggangnya. Di depan candi Siwa terdapat candi Nandi, di dalamnya terdapat arca lembu Nandi. Pada dinding di belakang arca Nandi ini di kiri dan kanannya mengapit arca Chandra dewa bulan dan Surya dewa matahari. Chandra digambarkan berdiri di atas kereta yang ditarik 10 kuda, sedangkan Surya berdiri di atas kereta yang ditarik 7 kuda.[16] Tepat di depan candi Brahma terdapat candi Angsa. Candi ini kosong dan tidak ada arca Angsa di dalamnya. Mungkin dulu pernah bersemayam arca Angsa sebagai kendaraan Brahma di dalamnya. Di depan candi Wishnu terdapat candi yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi sama seperti candi Angsa, di dalam candi ini tidak ditemukan arca Garuda. Mungkin dulu arca Garuda pernah ada di dalam candi ini. Hingga kini Garuda menjadi lambang penting di Indonesia, yaitu sebagai lambang negara Garuda Pancasila.
Candi Apit, Candi Kelir, dan Candi Patok
Di antara baris keenam candi-candi utama ini terdapat Candi Apit. Ukuran Candi Apit hampir sama dengan ukuran candi perwara, yaitu tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter. Disamping 8 candi utama ini terdapat candi kecil berupa kuil kecil yang mungkin fungsinya menyerupai pelinggihan dalam Pura Hindu Bali tempat meletakan canang atau sesaji, sekaligus sebagai aling-aling di depan pintu masuk. Candi-candi kecil ini yaitu; 4 Candi Kelir pada empat penjuru mata angin di muka pintu masuk, dan 4 Candi Patok di setiap sudutnya. Candi Kelir dan Candi Patok berbentuk miniatur candi tanpa tangga dengan tinggi sekitar 2 meter.
Candi Perwara
Dua dinding berdenah bujur sangkar yang mengurung dua halaman dalam, tersusun dengan orientasi sesuai empat penjuru mata angin. Dinding kedua berukuran panjang 225 meter di tiap sisinya. Di antara dua dinding ini adalah halaman kedua atau zona kedua. Zona kedua terdiri atas 224 Candi Perwara yang disusun dalam empat baris konsentris. Candi-candi ini dibangun di atas empat undakan teras-teras yang makin ke tengah sedikit makin tinggi. Empat baris candi-candi ini berukuran lebih kecil daripada candi utama. Candi-candi ini disebut "Candi Perwara" yaitu Candi Pengawal atau Candi Pelengkap. Candi-Candi Perwara disusun dalam empat baris konsentris baris terdalam terdiri atas 44 candi, baris kedua 52 candi, baris ketiga 60 candi, dan baris keempat sekaligus baris terluar terdiri atas 68 candi.
Masing-masing Candi Perwara ini berukuran tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter, dan jumlah keseluruhan Candi Perwara di halaman ini adalah 224 candi. Kesemua Candi Perwara ini memiliki satu tangga dan pintu masuk sesuai arah hadap utamanya, kecuali 16 candi di sudut yang memiliki dua tangga dan pintu masuk menghadap ke dua arah luar.[17] Jika kebanyakan atap candi di halaman dalam zona inti berbentuk wajra, maka atap candi perwara berbentuk ratna yang melambangkan permata.
Aslinya ada banyak candi yang ada di halaman ini, akan tetapi hanya sedikit yang telah dipugar. Bentuk candi perwara ini dirancang seragam. Sejarawan menduga bahwa candi-candi ini dibiayai dan dibangun oleh penguasa daerah sebagai tanda bakti dan persembahan bagi raja. Sementara ada pendapat yang mengaitkan empat baris Candi Perwara melambangkan empat kasta, dan hanya orang-orang anggota kasta itu yang boleh memasuki dan beribadah di dalamnya; baris paling dalam hanya oleh dimasuki kasta brahmana, berikutnya hingga baris terluar adalah barisan candi untuk ksatriya, waisya, dan sudra. Sementara pihak lain menganggap tidak ada kaitannya antara Candi Perwara dan empat kasta. Barisan candi perwara kemungkinan dipakai untuk beribadah, atau tempat bertapa (meditasi) bagi pendeta dan umatnya.
Arsitektur
Penampang candi Siwa
Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang kurang suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama. Baik lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona:[18]
Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana; manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi melambangkan ranah bhurloka.
Bwahloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi, pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran. Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bwahloka.
Swahloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci tempat para dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi melambangkan ranah swahloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan merupakan modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka candi.
Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75 meter dan peti batu pripih ini ditemukan di atas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang belulang hewan korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran emas dengan aksara bertuliskan Baruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam peti batu ini terdapat lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping uang kuno, beberapa butir permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang kerang, dan 12 lembaran emas (5 diantaranya berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma, altar, dan telur).[19]
Relief
Relief di Prambanan menampilkan Shinta tengah diculik Rahwana yang menunggangi raksasa bersayap, sementara burung Jatayu di sebelah kiri atas mencoba menolong Shinta.
Panil khas Prambanan, singa di dalam relung diapit dua pohon kalpataru yang masing-masing diapit oleh sapasang kinnara-kinnari atau sepasang margasatwa.
Ramayana dan Krishnayana
Candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana. Relif berkisah ini diukirkan pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu ritual mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi timur candi Siwa dan dilanjutkan ke candi Brahma temple. Pada pagar langkan candi Wisnu terdapat relief naratif Krishnayana yang menceritakan kehidupan Krishna sebagai salah satu awatara Wishnu.
Relief Ramayana menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama, diculik oleh Rahwana. Panglima bangsa wanara (kera), Hanuman, datang ke Alengka untuk membantu Rama mencari Shinta. Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari Ramayana, yaitu pagelaran wayang orang Jawa yang dipentaskan secara rutin di panggung terbuka Trimurti setiap malam bulan purnama. Latar belakang panggung Trimurti adalah pemandangan megah tiga candi utama yang disinari cahaya lampu.
Lokapala, Brahmana, dan Dewata
Di seberang panel naratif relief, di atas tembok tubuh candi di sepanjang galeri dihiasi arca-arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di candi Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di candi Brahma. Di candi Wishnu terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara atau bidadari kahyangan.
Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru
Di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi oleh barisan relung (ceruk) yang menyimpan arca singa diapit oleh dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan manusia. Di kaki pohon Kalpataru ini diapit oleh pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang, domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola khas yang hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil Prambanan".
Museum Prambanan
Di dalam kompleks taman purbakala candi Prambanan terdapat sebuah museum yang menyimpan berbagai temuan benda bersejarah purbakala. Museum ini terletak di sisi utara Candi Prambanan, antara candi Prambanan dan candi Lumbung. Museum ini dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa, berupa rumah joglo. Koleksi yang tersimpan di museum ini adalah berbagai batu-batu candi dan berbagai arca yang ditemukan di sekitar lokasi candi Prambanan; misalnya arca lembu Nandi, resi Agastya, Siwa, Wishnu, Garuda, dan arca Durga Mahisasuramardini, termasuk pula batu Lingga Siwa, sebagai lambang kesuburan.
Replika harta karun emas temuan Wonoboyo yang terkenal itu, berupa mangkuk berukir Ramayana, gayung, tas, uang, dan perhiasan emas, juga dipamekan di museum ini. Temuan Wonoboyo yang asli kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Replika model arsitektur beberapa candi seperti Prambanan, Borobudur, dan Plaosan juga dipamerkan di museum ini. Museum ini dapat dimasuki secara gratis oleh pengunjung taman purbakala Prambanan karena tiket masuk taman wisata sudah termasuk museum ini. Pertunjukan audio visual mengenai candi Prambanan juga ditampilkan disini.
Candi lain di sekitar Prambanan
Candi dan situs purbakala di sekitar Dataran Kewu
Candi Sewu, candi Buddha yang masuk dalam lingkungan Taman Purbalaka Prambanan, dikaitkan dengan legenda Rara Jonggrang
Dataran Kewu atau dataran Prambanan adalah dataran subur yang membentang antara lereng selatan kaki gunung Merapi di utara dan jajaran pegunungan kapur Sewu di selatan, dekat perbatasan Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Selain candi Prambanan, lembah dan dataran di sekitar Prambanan kaya akan peninggalan arkeologi candi-candi Buddha paling awal dalam sejarah Indonesia, serta candi-candi Hindu. Candi Prambanan dikelilingi candi-candi Buddha. Masih di dalam kompleks taman wisata purbakala, tak jauh di sebelah utara candi Prambanan terdapat reruntuhan candi Lumbung dan candi Bubrah. Lebih ke utara lagi terdapat candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Lebih jauh ke timur terdapat candi Plaosan. Di arah barat Prambanan terdapat candi Kalasan dan candi Sari. Sementara di arah selatan terdapat candi Sojiwan, Situs Ratu Baka yang terletak di atas perbukitan, serta candi Banyunibo, candi Barong, dan candi Ijo.
Dengan ditemukannya begitu banyak peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang hanya berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, menunjukkan bahwa kawasan di sekitar Prambanan pada zaman dahulu kala adalah kawasan penting. Kawasan yang memiliki nilai penting baik dalam hal keagamaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Diduga pusat kerajaan Medang Mataram terletak disuatu tempat di dataran ini. Kekayaan situs arkeologi, serta kecanggihan dan keindahan candi-candinya menjadikan Dataran Prambanan tak kalah dengan kawasan bersejarah terkenal lainnya di Asia Tenggara, seperti situs arkeologi kota purbakala Angkor, Bagan, dan Ayutthaya.
The History of Prambanan Temple (Sejarah Candi Prambanan)
Prambanan or Rara Jonggrang is a 9th-century Hindu temple compound in Special Region of Yogyakarta, Indonesia, dedicated to the Trimūrti, the expression of God as the Creator (Brahma), the Preserver (Vishnu) and the Transformer (Shiva). The temple compound is located approximately 17 kilometres (11 mi) northeast of the city of Yogyakarta on the boundary between Central Java and Yogyakarta provinces.[1]
The temple compound, a UNESCO World Heritage Site, is the largest Hindu temple site in Indonesia and the second-largest in Southeast Asia. It is characterized by its tall and pointed architecture, typical of Hindu architecture, and by the towering 47-metre-high (154 ft) central building inside a large complex of individual temples.[2] Prambanan attracts many visitors from around the world.[3][4]
History
Construction
Shivagrha inscription dated 856 CE.
The Prambanan temple is the largest Hindu temple of ancient Java, and the first building was completed in the mid-9th century. It was likely started by Rakai Pikatan as the Hindu Sanjaya Dynasty's answer to the Buddhist Sailendra Dynasty's Borobudur and Sewu temples nearby. Historians suggest that the construction of Prambanan probably was meant to mark the return of the Hindu Sanjaya Dynasty to power in Central Java after almost a century of Buddhist Sailendra Dynasty domination. The construction of this massive Hindu temple signifies that the Medang court had shifted its patronage from Mahayana Buddhism to Shaivite Hinduism.
A temple was first built at the site around 850 CE by Rakai Pikatan and expanded extensively by King Lokapala and Balitung Maha Sambu the Sanjaya king of the Mataram Kingdom. According to the Shivagrha inscription of 856 CE, the temple was built to honor Lord Shiva, and its original name was Shiva-grha (the House of Shiva) or Shiva-laya (the Realm of Shiva).[5] According to the Shivagrha inscription, a public water project to change the course of a river near Shivagrha temple was undertaken during the construction of the temple. The river, identified as the Opak River, now runs north to south on the western side of the Prambanan temple compound. Historians suggest that originally the river was curved further to east and was deemed too near to the main temple.[citation needed] The project was done by cutting the river along a north to south axis along the outer wall of the Shivagrha Temple compound. The former river course was filled in and made level to create a wider space for the temple expansion, the space for rows of pervara (complementary) temples.
Some archaeologists propose that the statue of Shiva in the garbhagriha (central chamber) of the main temple was modelled after King Balitung, serving as a depiction of his deified self after death.[6]
The temple compound was expanded by successive Mataram kings, such as Daksa and Tulodong, with the addition of hundreds of perwara temples around the chief temple. Prambanan served as the royal temple of the Kingdom of Mataram, with most of the state's religious ceremonies and sacrifices being conducted there. At the height of the kingdom, scholars estimate that hundreds of brahmins with their disciples lived within the outer wall of the temple compound. The urban center and the court of Mataram were located nearby, somewhere in the Prambanan Plain.
Abandonment
The Prambanan temple compound amid the morning mist.
In the 930s, the court was shifted to East Java by Mpu Sindok, who established the Isyana Dynasty. An eruption of Mount Merapi volcano, located north of Prambanan in central Java, or a power struggle probably caused the shift. That marked the beginning of the decline of the temple. It was soon abandoned and began to deteriorate.
The temples collapsed during a major earthquake in the 16th century. Although the temple ceased to be an important center of worship, the ruins scattered around the area were still recognizable and known to the local Javanese people in later times. The statues and the ruins became the theme and the inspiration for the Loro Jonggrang folktale. After the division of Mataram Sultanate in 1755, the temple ruins and the Opak River were used to demarcate the boundary between Yogyakarta and Surakarta (Solo) Sultanates, which was adopted as the current border between Yogyakarta and the province of Central Java.
Rediscovery
The ruins of Prambanan c. 1895, soon after their rediscovery.
The Javanese locals in the surrounding villages knew about the temple ruins before formal rediscovery, but they did not know about its historical background: which kingdoms ruled or which king commissioned the construction of the monuments. As a result, the locals developed tales and legends to explain the origin of temples, infused with myths of giants, and a cursed princess. They gave Prambanan and Sewu a wondrous origin; these were said in the Loro Jonggrang legend to have been created by a multitude of demons under the order of Bandung Bondowoso. It is the largest Hindu temple of ancient Java
The temple attracted international attention early in the 19th century. In 1811 during the short-lived British occupation of the Dutch East Indies, Colin Mackenzie, a surveyor in the service of Sir Thomas Stamford Raffles, came upon the temples by chance. Although Sir Thomas subsequently commissioned a full survey of the ruins, they remained neglected for decades. Dutch residents carried off sculptures as garden ornaments and native villagers used the foundation stones for construction material.
Half-hearted excavations by archaeologists in the 1880s facilitated looting. In 1918, the Dutch began reconstruction of the compound and proper restoration only in 1930. Efforts at restoration continue to this day. The reconstruction of the main Shiva temple was completed around 1953 and inaugurated by Sukarno. Since much of the original stonework has been stolen and reused at remote construction sites, restoration was hampered considerably. Given the scale of the temple complex, the government decided to rebuild shrines only if at least 75% of their original masonry was available. Most of the smaller shrines are now visible only in their foundations, with no plans for their reconstruction.
Contemporary events
Ramayana dance performance in Prambanan.
Prambanan night view from the Trimurti open-air stage.
In the early 1990s the government removed the market that had sprung up near the temple and redeveloped the surrounding villages and rice paddies as an archaeological park. The park covers a large area, from Yogyakarta-Solo main road in the south, encompassing the whole Prambanan complex, the ruins of Lumbung and Bubrah temples, and as far as the Sewu temple compound in the north. In 1992 the Indonesian government created a State-owned Limited Liability Enterprise (PERSERO), named "PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko." This enterprise is the authority for the park management of Borobudur Prambanan Ratu Boko and the surrounding region. Prambanan is one of the most visited tourist attraction in Indonesia.
The Trimurti open-air and indoor stages on the west side of the temple, across the Opak River, were built to stage the ballet of the traditional Ramayana epic. This traditional Javanese dance is the centuries-old dance of the Javanese court. Since the 1960s, it has been performed every full moon night in the Prambanan temple. Since then, Prambanan has become one of the major archaeological and cultural tourism attractions in Indonesia.
Since the reconstruction of the main temples in the 1990s, Prambanan has been reclaimed as an important religious center for Hindu rituals and ceremonies in Java. Balinese and Javanese Hindu communities in Yogyakarta and Central Java revived their practices of annually performing their sacred ceremonies in Prambanan, such as Galungan, Tawur Kesanga, and Nyepi.[7][8]
The temple was damaged during the 2006 Yogyakarta earthquake. Early photos suggested that although the complex was structurally intact, the damage was significant. Large pieces of debris, including carvings, were scattered over the ground. The temple was closed to visitors until the damage could be fully assessed. Eventually, the head of Yogyakarta Archaeological Conservation Agency stated that it would take months to identify the full extent of the damage.[9][10] Some weeks later in 2006, the site was re-opened for visitors.
There is great interest in the site. In 2008, 856,029 Indonesian visitors and 114,951 foreign visitors visited Prambanan. On 6 January 2009 the reconstruction of Nandi temple finished.[11] As of 2009, the interior of most of the temples remains off-limits for safety reasons.
On 14 February 2014, major tourist attractions in Yogyakarta and Central Java, including Borobudur, Prambanan, and Ratu Boko, were closed to visitors after being severely affected by the volcanic ash from the eruption of Kelud volcano in East Java, located about 200 kilometers east of Yogyakarta. The Kelud volcano erupted on 13 February 2014 with explosions heard as far away as Yogyakarta.[12] Four years earlier, Prambanan was spared from the 2010 Merapi volcanic ash and eruption since the wind and ashfall were directed westward and affected Borobudur instead.
In 2012, the Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BP3) or Central Java Heritage Preservation Authority suggested that the area in and around Prambanan should be treated as a sanctuary area. The proposed area is located in Prambanan Plain measured 30 square kilometers spanned across Sleman and Klaten Regency, which includes major temples in the area such as Prambanan, Ratu Boko, Kalasan, Sari and Plaosan temples. The sanctuary area is planned to be treated in a similar fashion to the Angkor archaeological area in Cambodia, which means the government should stop or decline permits to construct any new buildings, especially multi-storied buildings, as well as BTS towers in the area. This is meant to protect this archaeologically rich area from modern day visual obstructions and the encroachments of hotels, restaurants, and any tourism-related buildings and businesses.[13]
The temple compound
This information does not take account of damage caused by the 2006 Yogyakarta earthquake
The map of Prambanan temple compound, shows concentric mandala layout
Originally there were a total of 240 temples standing in Prambanan. The Prambanan Temple Compound consist of:
3 Trimurti temples: three main temples dedicated to Vishnu, Shiva and Brahma
3 Vahana temples: three temples in front of Trimurti temples dedicated to the vahana of each gods; Garuda, Nandi and Hamsa
2 Apit temples: two temples located between the rows of Trimurti and Vahana temples on north and south side
4 Kelir temples: four small shrines located on 4 cardinal directions right beyond the 4 main gates of inner zone
4 Patok temples: four small shrines located on 4 corners of inner zone
224 Pervara temples: hundreds of temples arranged in 4 concentric square rows; numbers of temples from inner row to outer row are: 44, 52, 60, and 68
The Prambanan compound also known as Rara Jonggrang complex, named after the popular legend of Rara Jonggrang. There were once 240 temples standing in this Shivaite temple complex, either big or small.[14] Today, all of 8 main temples and 8 small shrines in the inner zone are reconstructed, but only 2 out of the original 224 pervara temples are renovated. The majority of them have deteriorated; what is left are only scattered stones. The Prambanan temple complex consists of three zones; first the outer zone, second the middle zone that contains hundreds of small temples, and third the holiest inner zone that contains eight main temples and eight small shrines.
An architectural model of the Prambanan temple complex; originally there were 240 temples in this temple compound
The Hindu temple complex at Prambanan is based on a square plan that contains a total of three zone yards, each of which is surrounded by four walls pierced by four large gates. The outer zone is a large space marked by a rectangular wall. The outermost walled perimeter, which originally measured about 390 metres per side, was oriented in the northeast-southwest direction. However, except for its southern gate, not much else of this enclosure has survived down to the present. The original function is unknown; possibilities are that it was a sacred park, or priests' boarding school (ashram). The supporting buildings for the temple complex were made from organic material; as a consequence no remains occur.
Shiva temple
Main shrine dedicated to Shiva of Prambanan temple complex
The statue of Durga Mahisasuramardini in northern cella of Shiva temple.
The inner zone or central compound is the holiest among the three zones. It is the square elevated platform surrounded by a square stone wall with stone gates on each four cardinal points. This holiest compound is assembled of eight main shrines or candi. The three main shrines, called Trimurti ("three forms"), are dedicated to the three Gods: Brahma the Creator, Vishnu the Keeper, and Shiva the Destroyer.
The Shiva temple is the tallest and largest structure in Prambanan Loro Jonggrang complex; it measures 47 metres tall and 34 metres wide. The main stairs are located on the eastern side. The eastern gate of Shiva temple is flanked by two small shrines, dedicated to guardian gods, Mahakala and Nandhisvara. The Shiva temple is encircled with galleries adorned with bas-reliefs telling the story of Ramayana carved on the inner walls of the balustrades. To follow the story accurately, visitors must enter from the east side and began to perform pradakshina or circumambulating clockwise. The bas-reliefs of Ramayana continue to the Brahma temple galleries.
The Shiva shrine is located at the center and contains five chambers, four small chambers in every cardinal direction and one bigger main chamber in the central part of the temple. The east chamber connects to the central chamber that houses the largest temple in Prambanan, a three-metre high statue of Shiva Mahadeva (the Supreme God). The statue bears Lakçana (attributes or symbol) of Shiva such as skull and sickle (crescent) at the crown, and third eye on the forehead; also four hands that holds Shiva's symbols: prayer beads, feather duster, and trisula (trident). Some historians believe that the depiction of Shiva as Mahadeva was also meant to personify king Balitung as the reincarnation of Shiva. So, when he died, a temple was built to commemorate him as Shiva.[15] The statue of Shiva stands on a lotus pad on a Yoni pedestal that bears the carving of Nāga serpents on the north side of the pedestal.
The other three smaller chambers contain statues of Hindu Gods related to Shiva: his consort Durga, the rishi Agastya, and Ganesha, his son. A statue of Agastya occupies the south chamber, the west chamber houses the statue of Ganesha, while the north chamber contains the statue of Durga Mahisasuramardini depicting Durga as the slayer of the Bull demon. The shrine of Durga is also called the temple of Rara Jonggrang (Javanese: slender virgin), after a Javanese legend of princess Rara Jonggrang.
Brahma and Vishnu temples
The two other main shrines are those of Vishnu on the north side of the Shiva shrine, and the one of Brahma on the south. Both temples face east and each contain only one large chamber, each dedicated to respected gods; Brahma temple contains the statue of Brahma and Vishnu temple houses the statue of Vishnu. Brahma and Vishnu temple measures 20 metres wide and 33 metres tall.
Vahana temples
The other three shrines in front of the three main temples are dedicated to the vehicles (vahana) of the respective gods – the bull Nandi for Shiva, the sacred swan Hamsa for Brahma, and Vishnu's Kite Garuda. Precisely in front of the Shiva temple is the Nandi temple, which contains a statue of the Nandi bull. Next to it, there are also other statues, the statue of Chandra the god of the moon and Surya the god of the sun. Chandra stands on his carriage pulled by 10 horses, the statue of Surya also stands on a carriage pulled by 7 horses.[16] Facing the Brahma temple is the temple of Hamsa or Angsa. The chamber of this temple contains no statue, but it seems likely that there was once a statue of the sacred swan. In front of the Vishnu temple is the temple dedicated to Garuda. However, just like the Hamsa temple, the Garuda temple contains no statue, but probably once contained the statue of Garuda. Garuda holds an important role for Indonesia, as it serves as the national symbol of Indonesia, and also as the name of the airline Garuda Indonesia.
Apit temples and smaller shrines
An Apit temple
Between these rows of the main temple, on the north and south side, stand two Candi Apit temples. Apit in Javanese means "flank". It refers to the position of the two temples that flanked the inner courtyard on the north and south sides. The room inside the Apit temples is now empty. It is not clear to which deities these Apit temples were dedicated. However, examining the southern Apit temple bas-reliefs on the outer wall, a female deity is depicted, most probably Sarasvati, the Shakti (consort) of Brahma. Considering the Hindu pantheon represented in Prambanan temples, it is possible that the southern Apit temple was dedicated to Sarasvati, while the northern Apit temple was dedicated to Lakshmi.
Beside these 8 main temples, there are also 8 smaller shrines; 4 Candi Kelir on four cardinal directions of the entrance, and 4 Candi Patok on four corners of the inner zone. Kelir in Javanese means "screen", especially referring to wayang kulit, fabric screen. It refers to a structure that obstructs the main cardinal entry of gopura. It is similar to aling-aling in Balinese architecture. Patok in Javanese means "peg". It refers to the shrine location at the four corners of the inner compound.
Pervara temples
A Perwara temple
The two walled perimeters that surround the remaining two yards to the interior are oriented to the four cardinal points. The second yard's walled perimeter, which measures about 225 metres per side, surrounds a terraced area that consists of four rows containing 44, 52, 60, and 68 pervara temples. Respectively, each has a height of 14 metres and measures 6×6 metres at the base, or 224 structures in total. The sixteen temples located at the corners of the rows face two directions; the remaining 208 structures open to only one of the four cardinal directions.[17]
The middle zone consists of four rows of 224 individual small shrines. There are great numbers of these temples, but most of them are still in ruins and only some have been reconstructed. These concentric rows of temples were made in an identical design. Each row towards the center is slightly elevated. These shrines are called "Candi Perwara", guardian or complementary temples, the additional buildings of the main temple. Some believed it was offered to the king as a sign of submission. The Perwara are arranged in four rows around the central temples. Some believed it had something to do with four castes, made according to the rank of the people allowed to enter them; the row nearest to the central compound was accessible to the priests only, the other three were reserved for the nobles, the knights, and the simple people respectively. While another believed that the four rows of Perwara had nothing to do with four castes, it was just simply made as a meditation place for priests and as a worship place for devotees.
Architecture
The cross section of Shiva temple
The architecture of Prambanan temple follows the typical Hindu architecture traditions based on Vastu Shastra. The temple design incorporated mandala temple plan arrangements and also the typical high towering spires of Hindu temples. Prambanan was originally named Shivagrha and dedicated to the god Shiva. The temple was designed to mimic Meru, the holy mountain, the abode of Hindu gods, and the home of Shiva. The whole temple complex is a model of the Hindu universe according to Hindu cosmology and the layers of Loka.
Just like Borobudur, Prambanan also recognizes the hierarchy of the temple zones, spanned from the less holy to the holiest realms. Each Hindu and Buddhist concept has its own terms, but the concepts are essentially identical. Either the compound site plan (horizontally) or the temple structure (vertically) consists of three zones:[18]
Bhurloka (in Buddhism: Kāmadhātu), the lowest realm of common mortals; humans, animals also demons. Where humans are still bound by their lust, desire and unholy way of life. The outer courtyard and the foot (base) part of each temples is symbolized the realm of bhurloka.
Bhuvarloka (in Buddhism: Rupadhatu), the middle realm of holy people, occupied by rishis, ascetics, and lesser gods. People here begin to see the light of truth. The middle courtyard and the body of each temple symbolizes the realm of bhuvarloka.
Svarloka (in Buddhism: Arupadhatu), the highest and holiest realm, reserved for the gods. Also known as svargaloka. The inner courtyard and the roof of each temple symbolizes the realm of svarloka. The roof of Prambanan temples are adorned and crowned with ratna (sanskrit: jewel), the shape of Prambanan ratna took the altered form of vajra that represent diamonds. In ancient Java temple architecture, ratna is the Hindu counterpart of the Buddhist stupa, and served as the temple's pinnacle.
During the restoration, a well which contains a pripih (stone casket) was discovered under the center of the Shiva temple. The main temple has a well 5.75 m deep in which a stone casket was found on top a pile of charcoal, earth, and remains of burned animal bones. Sheets of gold leaves with the inscription Varuna (god of the sea) and Parvata (god of the mountains) were found here. The stone casket contained sheets of copper, charcoal, ashes, earth, 20 coins, jewels, glass, pieces of gold and silver leaves, seashells and 12 gold leaves (which were cut in the shapes of a turtle, Nāga serpent, padma, altar, and an egg).[19]
Reliefs
Ravana kidnapping Sita while the Jatayu on the left tried to help her. Prambanan bas-relief
Ramayana and Bhagavata Purana
The temple is adorned with panels of narrative bas-reliefs telling the story of the Hindu epic Ramayana and Bhagavata Purana. The narrative bas-relief panels were carved along the inner balustrades wall on the gallery around the three main temples.
The narrative panels on the balustrade read from left to right. The story starts from the east entrance where visitors turn left and move around the temple gallery in a clockwise direction. This conforms with pradaksina, the ritual of circumambulation performed by pilgrims who move in a clockwise direction while keeping the sanctuary to their right. The story of Ramayana starts on Shiva temple balustrade and continues to Brahma temple. On the balustrades in Vishnu temple there is series of bas-relief panels depicting the stories of lord Krishna from Bhagavata Purana.
The bas-relief of Ramayana illustrate how Sita, the wife of Rama, is abducted by Ravana. The monkey king Hanuman brings his army to help Rama and rescue Sita. This story is also shown by the Ramayana Ballet, regularly performed at full moon at Trimurti open-air theatre on the west side of the illuminated Prambanan complex.
Lokapalas, Brahmins and Devatas
On the other side of the narrative panels, the temple wall along the gallery was adorned with statues and reliefs of devatas and brahmin sages. The figures of lokapalas, the celestial guardians of directions, can be found in Shiva temple. The brahmin sage editors of veda were carved on Brahma temple wall, while in Vishnu temple the figures of male deities devatas are flanked by two apsaras.
Prambanan panel, lion in niche flanked by two kalpataru trees each flanked by a pair tof kinnaras or animals.
Prambanan panel: Lion and Kalpataru
The lower outer wall of these temples was adorned with a row of small niches containing an image of sinha (a lion) flanked by two panels depicting bountiful kalpataru (kalpavriksha) trees. These wish-fulfilling sacred trees, according to Hindu-Buddhist belief, are flanked on either side by kinnaras or animals, such as pairs of birds, deer, sheep, monkeys, horses, elephants etc. The pattern of lion in niche flanked by kalpataru trees is typical in the Prambanan temple compound, thus it is called a "Prambanan panel".
The Rara Jonggrang legend
Main article: Roro_Jonggrang
The multitude of temples scattered around Prambanan inspired the local legend of Rara Jonggrang
The popular legend of Rara Jonggrang is what connects the site of the Ratu Boko Palace, the origin of the Durga statue in the northern cell/chamber of the main shrine, and the origin of the Sewu temple complex nearby. The legend tells the story about Prince Bandung Bondowoso, who fell in love with Princess Rara Jonggrang, the daughter of King Boko. But the princess rejected his proposal of marriage because Bandung Bondowoso had killed King Boko and ruled her kingdom. Bandung Bondowoso insisted on the union, and finally Rara Jonggrang was forced to agree to a union in marriage, but she posed one impossible condition: Bandung must build her a thousand temples in only one night.
The Prince entered into meditation and conjured up a multitude of supernatural beings from the earth. Helped by these spirits, he succeeded in building 999 temples. When the prince was about to complete the condition, the princess woke her palace maids and ordered the women of the village to begin pounding rice and set a fire in the east of the temple, attempting to make the prince and the spirits believe that the sun was about to rise. As the cocks began to crow, fooled by the light and the sounds of daybreak, the supernatural helpers fled back into the ground. The prince was furious about the trick and in revenge he cursed Rara Jonggrang, turning her to stone. She became the last and the most beautiful of the thousand statues. According to the traditions, the unfinished thousandth temple created by the demons become the Sewu temple compounds nearby (Sewu means "thousands" in Javanese), and the Princess is the image of Durga in the north cell of the Shiva temple at Prambanan, which is still known as Rara Jonggrang or "Slender Maiden".
Other temples around Prambanan
Temples and archaeological sites in Prambanan Plain
Sewu buddhist temple within Prambanan archaeological park connected with local Loro Jonggrang legend
The Prambanan Plain spans between the southern slopes of Merapi volcano in the north and the Sewu mountain range in the south, near the present border Yogyakarta province and Klaten Regency, Central Java. Apart from the Lara Jonggrang complex, the Prambanan plain, valley and hills around it is the location of some of the earliest Buddhist temples in Indonesia. Not far to the north are found the ruins of Bubrah temple, Lumbung temple, and Sewu temple. Further east is found Plaosan temple. To the west are found Kalasan temple and Sari temple, and further to the west is Sambisari temple. While to the south the Ratu Boko compound is on higher ground. The discoveries of archaeological sites scattered only a few miles away suggest that this area was an important religious, political, and urban center.
North of the Lara Jongrang complex
Lumbung. Buddhist-style, consisting of one main temple surrounded by 16 smaller ones.
Candi Bubrah. Buddhist temple, rebuilt between 2013 and 2017.[20]
Sewu. Buddhist temple complex, older than Roro Jonggrang. A main sanctuary surrounded by many smaller temples. Well preserved guardian statues, replicas of which stand in the central courtyard at the Jogja Kraton.
Candi Morangan. Hindu temple complex buried several meters under volcanic ashes, located northwest from Prambanan.
Candi Plaosan. Buddhist, probably 9th century. Thought to have been built by a Hindu king for his Buddhist queen. Two main temples with reliefs of Boddhisatva and Tara. Also rows of slender stupas.
South of the Lara Jongrang complex
Ratu Boko. Complex of fortified gates, bathing pools, and elevated walled stone enclosure, all located on top of the hill.
Sajiwan. Buddhist temple decorated with reliefs concerning education. The base and staircase are decorated with animal fables.
Banyunibo. A Buddhist temple with unique design of roof.
Barong. A Hindu temple complex with large stepped stone courtyard. Located on the slope of the hill.
Ijo. A cluster of Hindu temple located near the top of Ijo hill. The main temple houses a large lingam and yoni.
Arca Bugisan. Seven Buddha and bodhisattva statues, some collapsed, representing different poses and expressions.
West of the Lara Jongrang complex
Kalasan. 8th-century Buddhist temple built in commemoration of the marriage of a king and his princess bride, ornamented with finely carved reliefs.
Sari. Once a sanctuary for Buddhist priests. 8th century. Nine stupas at the top with two rooms beneath, each believed to be places for priests to meditate.
Sambisari. 9th-century Hindu temple discovered in 1966, once buried 6.5 metres under volcanic ash. The main temple houses a linga and yoni, and the wall surround it displayed the images of Agastya, Durga, and Ganesha.
Gebang. A small Hindu temple discovered in 1937 located near the Yogyakarta northern ring-road. The temple displays the statue of Ganesha and interesting carving of faces on the roof section.
Candi Gana. Rich in statues, bas-reliefs and sculpted stones. Frequent representations of children or dwarfs with raised hands. Located in the middle of a housing complex. Under restoration since 1997.
Candi Kedulan. Discovered in 1994 by sand diggers, 4m deep. Square base of main temple visible. Secondary temples not yet fully excavated.
The temple compound, a UNESCO World Heritage Site, is the largest Hindu temple site in Indonesia and the second-largest in Southeast Asia. It is characterized by its tall and pointed architecture, typical of Hindu architecture, and by the towering 47-metre-high (154 ft) central building inside a large complex of individual temples.[2] Prambanan attracts many visitors from around the world.[3][4]
History
Construction
Shivagrha inscription dated 856 CE.
The Prambanan temple is the largest Hindu temple of ancient Java, and the first building was completed in the mid-9th century. It was likely started by Rakai Pikatan as the Hindu Sanjaya Dynasty's answer to the Buddhist Sailendra Dynasty's Borobudur and Sewu temples nearby. Historians suggest that the construction of Prambanan probably was meant to mark the return of the Hindu Sanjaya Dynasty to power in Central Java after almost a century of Buddhist Sailendra Dynasty domination. The construction of this massive Hindu temple signifies that the Medang court had shifted its patronage from Mahayana Buddhism to Shaivite Hinduism.
A temple was first built at the site around 850 CE by Rakai Pikatan and expanded extensively by King Lokapala and Balitung Maha Sambu the Sanjaya king of the Mataram Kingdom. According to the Shivagrha inscription of 856 CE, the temple was built to honor Lord Shiva, and its original name was Shiva-grha (the House of Shiva) or Shiva-laya (the Realm of Shiva).[5] According to the Shivagrha inscription, a public water project to change the course of a river near Shivagrha temple was undertaken during the construction of the temple. The river, identified as the Opak River, now runs north to south on the western side of the Prambanan temple compound. Historians suggest that originally the river was curved further to east and was deemed too near to the main temple.[citation needed] The project was done by cutting the river along a north to south axis along the outer wall of the Shivagrha Temple compound. The former river course was filled in and made level to create a wider space for the temple expansion, the space for rows of pervara (complementary) temples.
Some archaeologists propose that the statue of Shiva in the garbhagriha (central chamber) of the main temple was modelled after King Balitung, serving as a depiction of his deified self after death.[6]
The temple compound was expanded by successive Mataram kings, such as Daksa and Tulodong, with the addition of hundreds of perwara temples around the chief temple. Prambanan served as the royal temple of the Kingdom of Mataram, with most of the state's religious ceremonies and sacrifices being conducted there. At the height of the kingdom, scholars estimate that hundreds of brahmins with their disciples lived within the outer wall of the temple compound. The urban center and the court of Mataram were located nearby, somewhere in the Prambanan Plain.
Abandonment
The Prambanan temple compound amid the morning mist.
In the 930s, the court was shifted to East Java by Mpu Sindok, who established the Isyana Dynasty. An eruption of Mount Merapi volcano, located north of Prambanan in central Java, or a power struggle probably caused the shift. That marked the beginning of the decline of the temple. It was soon abandoned and began to deteriorate.
The temples collapsed during a major earthquake in the 16th century. Although the temple ceased to be an important center of worship, the ruins scattered around the area were still recognizable and known to the local Javanese people in later times. The statues and the ruins became the theme and the inspiration for the Loro Jonggrang folktale. After the division of Mataram Sultanate in 1755, the temple ruins and the Opak River were used to demarcate the boundary between Yogyakarta and Surakarta (Solo) Sultanates, which was adopted as the current border between Yogyakarta and the province of Central Java.
Rediscovery
The ruins of Prambanan c. 1895, soon after their rediscovery.
The Javanese locals in the surrounding villages knew about the temple ruins before formal rediscovery, but they did not know about its historical background: which kingdoms ruled or which king commissioned the construction of the monuments. As a result, the locals developed tales and legends to explain the origin of temples, infused with myths of giants, and a cursed princess. They gave Prambanan and Sewu a wondrous origin; these were said in the Loro Jonggrang legend to have been created by a multitude of demons under the order of Bandung Bondowoso. It is the largest Hindu temple of ancient Java
The temple attracted international attention early in the 19th century. In 1811 during the short-lived British occupation of the Dutch East Indies, Colin Mackenzie, a surveyor in the service of Sir Thomas Stamford Raffles, came upon the temples by chance. Although Sir Thomas subsequently commissioned a full survey of the ruins, they remained neglected for decades. Dutch residents carried off sculptures as garden ornaments and native villagers used the foundation stones for construction material.
Half-hearted excavations by archaeologists in the 1880s facilitated looting. In 1918, the Dutch began reconstruction of the compound and proper restoration only in 1930. Efforts at restoration continue to this day. The reconstruction of the main Shiva temple was completed around 1953 and inaugurated by Sukarno. Since much of the original stonework has been stolen and reused at remote construction sites, restoration was hampered considerably. Given the scale of the temple complex, the government decided to rebuild shrines only if at least 75% of their original masonry was available. Most of the smaller shrines are now visible only in their foundations, with no plans for their reconstruction.
Contemporary events
Ramayana dance performance in Prambanan.
Prambanan night view from the Trimurti open-air stage.
In the early 1990s the government removed the market that had sprung up near the temple and redeveloped the surrounding villages and rice paddies as an archaeological park. The park covers a large area, from Yogyakarta-Solo main road in the south, encompassing the whole Prambanan complex, the ruins of Lumbung and Bubrah temples, and as far as the Sewu temple compound in the north. In 1992 the Indonesian government created a State-owned Limited Liability Enterprise (PERSERO), named "PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko." This enterprise is the authority for the park management of Borobudur Prambanan Ratu Boko and the surrounding region. Prambanan is one of the most visited tourist attraction in Indonesia.
The Trimurti open-air and indoor stages on the west side of the temple, across the Opak River, were built to stage the ballet of the traditional Ramayana epic. This traditional Javanese dance is the centuries-old dance of the Javanese court. Since the 1960s, it has been performed every full moon night in the Prambanan temple. Since then, Prambanan has become one of the major archaeological and cultural tourism attractions in Indonesia.
Since the reconstruction of the main temples in the 1990s, Prambanan has been reclaimed as an important religious center for Hindu rituals and ceremonies in Java. Balinese and Javanese Hindu communities in Yogyakarta and Central Java revived their practices of annually performing their sacred ceremonies in Prambanan, such as Galungan, Tawur Kesanga, and Nyepi.[7][8]
The temple was damaged during the 2006 Yogyakarta earthquake. Early photos suggested that although the complex was structurally intact, the damage was significant. Large pieces of debris, including carvings, were scattered over the ground. The temple was closed to visitors until the damage could be fully assessed. Eventually, the head of Yogyakarta Archaeological Conservation Agency stated that it would take months to identify the full extent of the damage.[9][10] Some weeks later in 2006, the site was re-opened for visitors.
There is great interest in the site. In 2008, 856,029 Indonesian visitors and 114,951 foreign visitors visited Prambanan. On 6 January 2009 the reconstruction of Nandi temple finished.[11] As of 2009, the interior of most of the temples remains off-limits for safety reasons.
On 14 February 2014, major tourist attractions in Yogyakarta and Central Java, including Borobudur, Prambanan, and Ratu Boko, were closed to visitors after being severely affected by the volcanic ash from the eruption of Kelud volcano in East Java, located about 200 kilometers east of Yogyakarta. The Kelud volcano erupted on 13 February 2014 with explosions heard as far away as Yogyakarta.[12] Four years earlier, Prambanan was spared from the 2010 Merapi volcanic ash and eruption since the wind and ashfall were directed westward and affected Borobudur instead.
In 2012, the Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BP3) or Central Java Heritage Preservation Authority suggested that the area in and around Prambanan should be treated as a sanctuary area. The proposed area is located in Prambanan Plain measured 30 square kilometers spanned across Sleman and Klaten Regency, which includes major temples in the area such as Prambanan, Ratu Boko, Kalasan, Sari and Plaosan temples. The sanctuary area is planned to be treated in a similar fashion to the Angkor archaeological area in Cambodia, which means the government should stop or decline permits to construct any new buildings, especially multi-storied buildings, as well as BTS towers in the area. This is meant to protect this archaeologically rich area from modern day visual obstructions and the encroachments of hotels, restaurants, and any tourism-related buildings and businesses.[13]
The temple compound
This information does not take account of damage caused by the 2006 Yogyakarta earthquake
The map of Prambanan temple compound, shows concentric mandala layout
Originally there were a total of 240 temples standing in Prambanan. The Prambanan Temple Compound consist of:
3 Trimurti temples: three main temples dedicated to Vishnu, Shiva and Brahma
3 Vahana temples: three temples in front of Trimurti temples dedicated to the vahana of each gods; Garuda, Nandi and Hamsa
2 Apit temples: two temples located between the rows of Trimurti and Vahana temples on north and south side
4 Kelir temples: four small shrines located on 4 cardinal directions right beyond the 4 main gates of inner zone
4 Patok temples: four small shrines located on 4 corners of inner zone
224 Pervara temples: hundreds of temples arranged in 4 concentric square rows; numbers of temples from inner row to outer row are: 44, 52, 60, and 68
The Prambanan compound also known as Rara Jonggrang complex, named after the popular legend of Rara Jonggrang. There were once 240 temples standing in this Shivaite temple complex, either big or small.[14] Today, all of 8 main temples and 8 small shrines in the inner zone are reconstructed, but only 2 out of the original 224 pervara temples are renovated. The majority of them have deteriorated; what is left are only scattered stones. The Prambanan temple complex consists of three zones; first the outer zone, second the middle zone that contains hundreds of small temples, and third the holiest inner zone that contains eight main temples and eight small shrines.
An architectural model of the Prambanan temple complex; originally there were 240 temples in this temple compound
The Hindu temple complex at Prambanan is based on a square plan that contains a total of three zone yards, each of which is surrounded by four walls pierced by four large gates. The outer zone is a large space marked by a rectangular wall. The outermost walled perimeter, which originally measured about 390 metres per side, was oriented in the northeast-southwest direction. However, except for its southern gate, not much else of this enclosure has survived down to the present. The original function is unknown; possibilities are that it was a sacred park, or priests' boarding school (ashram). The supporting buildings for the temple complex were made from organic material; as a consequence no remains occur.
Shiva temple
Main shrine dedicated to Shiva of Prambanan temple complex
The statue of Durga Mahisasuramardini in northern cella of Shiva temple.
The inner zone or central compound is the holiest among the three zones. It is the square elevated platform surrounded by a square stone wall with stone gates on each four cardinal points. This holiest compound is assembled of eight main shrines or candi. The three main shrines, called Trimurti ("three forms"), are dedicated to the three Gods: Brahma the Creator, Vishnu the Keeper, and Shiva the Destroyer.
The Shiva temple is the tallest and largest structure in Prambanan Loro Jonggrang complex; it measures 47 metres tall and 34 metres wide. The main stairs are located on the eastern side. The eastern gate of Shiva temple is flanked by two small shrines, dedicated to guardian gods, Mahakala and Nandhisvara. The Shiva temple is encircled with galleries adorned with bas-reliefs telling the story of Ramayana carved on the inner walls of the balustrades. To follow the story accurately, visitors must enter from the east side and began to perform pradakshina or circumambulating clockwise. The bas-reliefs of Ramayana continue to the Brahma temple galleries.
The Shiva shrine is located at the center and contains five chambers, four small chambers in every cardinal direction and one bigger main chamber in the central part of the temple. The east chamber connects to the central chamber that houses the largest temple in Prambanan, a three-metre high statue of Shiva Mahadeva (the Supreme God). The statue bears Lakçana (attributes or symbol) of Shiva such as skull and sickle (crescent) at the crown, and third eye on the forehead; also four hands that holds Shiva's symbols: prayer beads, feather duster, and trisula (trident). Some historians believe that the depiction of Shiva as Mahadeva was also meant to personify king Balitung as the reincarnation of Shiva. So, when he died, a temple was built to commemorate him as Shiva.[15] The statue of Shiva stands on a lotus pad on a Yoni pedestal that bears the carving of Nāga serpents on the north side of the pedestal.
The other three smaller chambers contain statues of Hindu Gods related to Shiva: his consort Durga, the rishi Agastya, and Ganesha, his son. A statue of Agastya occupies the south chamber, the west chamber houses the statue of Ganesha, while the north chamber contains the statue of Durga Mahisasuramardini depicting Durga as the slayer of the Bull demon. The shrine of Durga is also called the temple of Rara Jonggrang (Javanese: slender virgin), after a Javanese legend of princess Rara Jonggrang.
Brahma and Vishnu temples
The two other main shrines are those of Vishnu on the north side of the Shiva shrine, and the one of Brahma on the south. Both temples face east and each contain only one large chamber, each dedicated to respected gods; Brahma temple contains the statue of Brahma and Vishnu temple houses the statue of Vishnu. Brahma and Vishnu temple measures 20 metres wide and 33 metres tall.
Vahana temples
The other three shrines in front of the three main temples are dedicated to the vehicles (vahana) of the respective gods – the bull Nandi for Shiva, the sacred swan Hamsa for Brahma, and Vishnu's Kite Garuda. Precisely in front of the Shiva temple is the Nandi temple, which contains a statue of the Nandi bull. Next to it, there are also other statues, the statue of Chandra the god of the moon and Surya the god of the sun. Chandra stands on his carriage pulled by 10 horses, the statue of Surya also stands on a carriage pulled by 7 horses.[16] Facing the Brahma temple is the temple of Hamsa or Angsa. The chamber of this temple contains no statue, but it seems likely that there was once a statue of the sacred swan. In front of the Vishnu temple is the temple dedicated to Garuda. However, just like the Hamsa temple, the Garuda temple contains no statue, but probably once contained the statue of Garuda. Garuda holds an important role for Indonesia, as it serves as the national symbol of Indonesia, and also as the name of the airline Garuda Indonesia.
Apit temples and smaller shrines
An Apit temple
Between these rows of the main temple, on the north and south side, stand two Candi Apit temples. Apit in Javanese means "flank". It refers to the position of the two temples that flanked the inner courtyard on the north and south sides. The room inside the Apit temples is now empty. It is not clear to which deities these Apit temples were dedicated. However, examining the southern Apit temple bas-reliefs on the outer wall, a female deity is depicted, most probably Sarasvati, the Shakti (consort) of Brahma. Considering the Hindu pantheon represented in Prambanan temples, it is possible that the southern Apit temple was dedicated to Sarasvati, while the northern Apit temple was dedicated to Lakshmi.
Beside these 8 main temples, there are also 8 smaller shrines; 4 Candi Kelir on four cardinal directions of the entrance, and 4 Candi Patok on four corners of the inner zone. Kelir in Javanese means "screen", especially referring to wayang kulit, fabric screen. It refers to a structure that obstructs the main cardinal entry of gopura. It is similar to aling-aling in Balinese architecture. Patok in Javanese means "peg". It refers to the shrine location at the four corners of the inner compound.
Pervara temples
A Perwara temple
The two walled perimeters that surround the remaining two yards to the interior are oriented to the four cardinal points. The second yard's walled perimeter, which measures about 225 metres per side, surrounds a terraced area that consists of four rows containing 44, 52, 60, and 68 pervara temples. Respectively, each has a height of 14 metres and measures 6×6 metres at the base, or 224 structures in total. The sixteen temples located at the corners of the rows face two directions; the remaining 208 structures open to only one of the four cardinal directions.[17]
The middle zone consists of four rows of 224 individual small shrines. There are great numbers of these temples, but most of them are still in ruins and only some have been reconstructed. These concentric rows of temples were made in an identical design. Each row towards the center is slightly elevated. These shrines are called "Candi Perwara", guardian or complementary temples, the additional buildings of the main temple. Some believed it was offered to the king as a sign of submission. The Perwara are arranged in four rows around the central temples. Some believed it had something to do with four castes, made according to the rank of the people allowed to enter them; the row nearest to the central compound was accessible to the priests only, the other three were reserved for the nobles, the knights, and the simple people respectively. While another believed that the four rows of Perwara had nothing to do with four castes, it was just simply made as a meditation place for priests and as a worship place for devotees.
Architecture
The cross section of Shiva temple
The architecture of Prambanan temple follows the typical Hindu architecture traditions based on Vastu Shastra. The temple design incorporated mandala temple plan arrangements and also the typical high towering spires of Hindu temples. Prambanan was originally named Shivagrha and dedicated to the god Shiva. The temple was designed to mimic Meru, the holy mountain, the abode of Hindu gods, and the home of Shiva. The whole temple complex is a model of the Hindu universe according to Hindu cosmology and the layers of Loka.
Just like Borobudur, Prambanan also recognizes the hierarchy of the temple zones, spanned from the less holy to the holiest realms. Each Hindu and Buddhist concept has its own terms, but the concepts are essentially identical. Either the compound site plan (horizontally) or the temple structure (vertically) consists of three zones:[18]
Bhurloka (in Buddhism: Kāmadhātu), the lowest realm of common mortals; humans, animals also demons. Where humans are still bound by their lust, desire and unholy way of life. The outer courtyard and the foot (base) part of each temples is symbolized the realm of bhurloka.
Bhuvarloka (in Buddhism: Rupadhatu), the middle realm of holy people, occupied by rishis, ascetics, and lesser gods. People here begin to see the light of truth. The middle courtyard and the body of each temple symbolizes the realm of bhuvarloka.
Svarloka (in Buddhism: Arupadhatu), the highest and holiest realm, reserved for the gods. Also known as svargaloka. The inner courtyard and the roof of each temple symbolizes the realm of svarloka. The roof of Prambanan temples are adorned and crowned with ratna (sanskrit: jewel), the shape of Prambanan ratna took the altered form of vajra that represent diamonds. In ancient Java temple architecture, ratna is the Hindu counterpart of the Buddhist stupa, and served as the temple's pinnacle.
During the restoration, a well which contains a pripih (stone casket) was discovered under the center of the Shiva temple. The main temple has a well 5.75 m deep in which a stone casket was found on top a pile of charcoal, earth, and remains of burned animal bones. Sheets of gold leaves with the inscription Varuna (god of the sea) and Parvata (god of the mountains) were found here. The stone casket contained sheets of copper, charcoal, ashes, earth, 20 coins, jewels, glass, pieces of gold and silver leaves, seashells and 12 gold leaves (which were cut in the shapes of a turtle, Nāga serpent, padma, altar, and an egg).[19]
Reliefs
Ravana kidnapping Sita while the Jatayu on the left tried to help her. Prambanan bas-relief
Ramayana and Bhagavata Purana
The temple is adorned with panels of narrative bas-reliefs telling the story of the Hindu epic Ramayana and Bhagavata Purana. The narrative bas-relief panels were carved along the inner balustrades wall on the gallery around the three main temples.
The narrative panels on the balustrade read from left to right. The story starts from the east entrance where visitors turn left and move around the temple gallery in a clockwise direction. This conforms with pradaksina, the ritual of circumambulation performed by pilgrims who move in a clockwise direction while keeping the sanctuary to their right. The story of Ramayana starts on Shiva temple balustrade and continues to Brahma temple. On the balustrades in Vishnu temple there is series of bas-relief panels depicting the stories of lord Krishna from Bhagavata Purana.
The bas-relief of Ramayana illustrate how Sita, the wife of Rama, is abducted by Ravana. The monkey king Hanuman brings his army to help Rama and rescue Sita. This story is also shown by the Ramayana Ballet, regularly performed at full moon at Trimurti open-air theatre on the west side of the illuminated Prambanan complex.
Lokapalas, Brahmins and Devatas
On the other side of the narrative panels, the temple wall along the gallery was adorned with statues and reliefs of devatas and brahmin sages. The figures of lokapalas, the celestial guardians of directions, can be found in Shiva temple. The brahmin sage editors of veda were carved on Brahma temple wall, while in Vishnu temple the figures of male deities devatas are flanked by two apsaras.
Prambanan panel, lion in niche flanked by two kalpataru trees each flanked by a pair tof kinnaras or animals.
Prambanan panel: Lion and Kalpataru
The lower outer wall of these temples was adorned with a row of small niches containing an image of sinha (a lion) flanked by two panels depicting bountiful kalpataru (kalpavriksha) trees. These wish-fulfilling sacred trees, according to Hindu-Buddhist belief, are flanked on either side by kinnaras or animals, such as pairs of birds, deer, sheep, monkeys, horses, elephants etc. The pattern of lion in niche flanked by kalpataru trees is typical in the Prambanan temple compound, thus it is called a "Prambanan panel".
The Rara Jonggrang legend
Main article: Roro_Jonggrang
The multitude of temples scattered around Prambanan inspired the local legend of Rara Jonggrang
The popular legend of Rara Jonggrang is what connects the site of the Ratu Boko Palace, the origin of the Durga statue in the northern cell/chamber of the main shrine, and the origin of the Sewu temple complex nearby. The legend tells the story about Prince Bandung Bondowoso, who fell in love with Princess Rara Jonggrang, the daughter of King Boko. But the princess rejected his proposal of marriage because Bandung Bondowoso had killed King Boko and ruled her kingdom. Bandung Bondowoso insisted on the union, and finally Rara Jonggrang was forced to agree to a union in marriage, but she posed one impossible condition: Bandung must build her a thousand temples in only one night.
The Prince entered into meditation and conjured up a multitude of supernatural beings from the earth. Helped by these spirits, he succeeded in building 999 temples. When the prince was about to complete the condition, the princess woke her palace maids and ordered the women of the village to begin pounding rice and set a fire in the east of the temple, attempting to make the prince and the spirits believe that the sun was about to rise. As the cocks began to crow, fooled by the light and the sounds of daybreak, the supernatural helpers fled back into the ground. The prince was furious about the trick and in revenge he cursed Rara Jonggrang, turning her to stone. She became the last and the most beautiful of the thousand statues. According to the traditions, the unfinished thousandth temple created by the demons become the Sewu temple compounds nearby (Sewu means "thousands" in Javanese), and the Princess is the image of Durga in the north cell of the Shiva temple at Prambanan, which is still known as Rara Jonggrang or "Slender Maiden".
Other temples around Prambanan
Temples and archaeological sites in Prambanan Plain
Sewu buddhist temple within Prambanan archaeological park connected with local Loro Jonggrang legend
The Prambanan Plain spans between the southern slopes of Merapi volcano in the north and the Sewu mountain range in the south, near the present border Yogyakarta province and Klaten Regency, Central Java. Apart from the Lara Jonggrang complex, the Prambanan plain, valley and hills around it is the location of some of the earliest Buddhist temples in Indonesia. Not far to the north are found the ruins of Bubrah temple, Lumbung temple, and Sewu temple. Further east is found Plaosan temple. To the west are found Kalasan temple and Sari temple, and further to the west is Sambisari temple. While to the south the Ratu Boko compound is on higher ground. The discoveries of archaeological sites scattered only a few miles away suggest that this area was an important religious, political, and urban center.
North of the Lara Jongrang complex
Lumbung. Buddhist-style, consisting of one main temple surrounded by 16 smaller ones.
Candi Bubrah. Buddhist temple, rebuilt between 2013 and 2017.[20]
Sewu. Buddhist temple complex, older than Roro Jonggrang. A main sanctuary surrounded by many smaller temples. Well preserved guardian statues, replicas of which stand in the central courtyard at the Jogja Kraton.
Candi Morangan. Hindu temple complex buried several meters under volcanic ashes, located northwest from Prambanan.
Candi Plaosan. Buddhist, probably 9th century. Thought to have been built by a Hindu king for his Buddhist queen. Two main temples with reliefs of Boddhisatva and Tara. Also rows of slender stupas.
South of the Lara Jongrang complex
Ratu Boko. Complex of fortified gates, bathing pools, and elevated walled stone enclosure, all located on top of the hill.
Sajiwan. Buddhist temple decorated with reliefs concerning education. The base and staircase are decorated with animal fables.
Banyunibo. A Buddhist temple with unique design of roof.
Barong. A Hindu temple complex with large stepped stone courtyard. Located on the slope of the hill.
Ijo. A cluster of Hindu temple located near the top of Ijo hill. The main temple houses a large lingam and yoni.
Arca Bugisan. Seven Buddha and bodhisattva statues, some collapsed, representing different poses and expressions.
West of the Lara Jongrang complex
Kalasan. 8th-century Buddhist temple built in commemoration of the marriage of a king and his princess bride, ornamented with finely carved reliefs.
Sari. Once a sanctuary for Buddhist priests. 8th century. Nine stupas at the top with two rooms beneath, each believed to be places for priests to meditate.
Sambisari. 9th-century Hindu temple discovered in 1966, once buried 6.5 metres under volcanic ash. The main temple houses a linga and yoni, and the wall surround it displayed the images of Agastya, Durga, and Ganesha.
Gebang. A small Hindu temple discovered in 1937 located near the Yogyakarta northern ring-road. The temple displays the statue of Ganesha and interesting carving of faces on the roof section.
Candi Gana. Rich in statues, bas-reliefs and sculpted stones. Frequent representations of children or dwarfs with raised hands. Located in the middle of a housing complex. Under restoration since 1997.
Candi Kedulan. Discovered in 1994 by sand diggers, 4m deep. Square base of main temple visible. Secondary temples not yet fully excavated.
Subscribe to:
Posts (Atom)